Langsung ke konten utama

Mengapa Engkau Enggan Mengenal Tuhanmu?



Bagian 1

Beriman kepada Allah Ta’ala merupakan rukun iman yang pertama dan paling penting. Sedangkan rukun iman yang lain “hanyalah” mengikuti dan merupakan cabang dari keimanan kepada Allah Ta’ala. Tauhid merupakan tujuan utama makhluk diciptakan, para rasul diutus, dan kitab-kitab diturunkan. Agama pun dibangun di atas tauhid. Keimanan kepada Allah Ta’ala merupakan pokok semua kebaikan dan sebab kebahagiaan. Dengan keimanan ini manusia memohon petunjuk, untuk-Nya dia beramal, dan kepada-Nya dia akan kembali. Jika hal itu dipalingkan kepada selain Allah Ta’ala, maka akan menjadi awal dan sumber kehancuran dan kerusakan.

Tidak ada kebaikan dan keberuntungan bagi seorang hamba kecuali dengan mengenal Rabb-nya dan beribadah kepada-Nya. Itulah tujuan hidup yang seharusnya dia inginkan dan itu pula tujuan penciptaannya. Oleh karena itulah, dakwah para Rasul kepada umatnya adalah dakwah menuju keimanan kepada Allah Ta’ala dan beribadah kepada-Nya. Setiap Rasul pasti memulai dakwahnya dengan hal tersebut, sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang yang mengkaji dakwah para Rasul di dalam Al Qur’an.

Sendi-sendi kebahagiaan dan keselamatan adalah dengan mewujudkan dua macam tauhid. Dengan kedua macam tauhid tersebut, terwujudlah keimanan kepada Allah Ta’ala. Dan untuk mewujudkannya, Allah Ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendakwahkan tauhid dari awal dakwahnya hingga akhir hayat. [1]

Tauhid Ma’rifat wal Itsbaat

Tauhid pertama adalah tauhid al-‘ilmi al-i’tiqadi. Dinamakan demikian karena maksud dari tauhid ini adalah untuk mengetahui atau mengenal Allah Ta’ala (al-‘ilmu) sehingga seorang hamba memiliki keyakinan (al-i’tiqad) terhadap keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala.

Ada pula yang menyebutnya sebagai tauhid ma’rifat wal itsbat. Disebut ma’rifat, karena mengenal Allah Ta’ala (ma’rifatullah) hanyalah dicapai melalui pengetahuan dan pengenalan terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Disebut al-itsbat (penetapan) karena tauhid ini berarti meyakini dan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah Ta’ala.

Di dalam tauhid pertama ini terkandung penetapan adanya Rabb Ta’ala, nama, sifat, dan perbuatan-Nya, serta tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya. Tauhid ini juga mencakup penetapan sifat kesempurnaan bagi Allah Ta’ala, mensucikan-Nya dari penyerupaan dan persamaan dengan makhluk-Nya, serta mensucikan-Nya dari berbagai sifat kekurangan.

Sehingga dalam tauhid ma’rifat wal itsbat ini terkandung dua macam tauhid. Pertama, tauhid rububiyyah. Yaitu mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatanNya, dengan beriman bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat yang menciptakan, memberi rizki, mengatur, dan memelihara para makhluk-Nya di dunia dan di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

”Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Rabb kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Yunus [10]: 3).

Kedua, tauhid asma’ wa shifat. Yaitu menetapkan nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala untuk diri-Nya sendiri atau ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mensucikan-Nya dari aib dan kekurangan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala sendiri atau oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tauhid Uluhiyyah atau Tauhid Ibadah

Tauhid kedua adalah tauhid fi’li atau tauhid ‘amali. Dinamakan demikian karena tauhid ini terkait dengan perbuatan hati dan anggota badan. Disebut juga tauhid al-iradi ath-thalabi, karena tauhid ini bermaksud untuk menujukan semua bentuk ibadah hanya kepada Allah Ta’ala, mencari ridha-Nya, dan ikhlas semata-mata karena-Nya.

Tauhid jenis ini lebih dikenal dengan istilah tauhid uluhiyyah atau tauhid ibadah, karena kandungannya adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam setiap perbuatan (ibadah) seorang hamba, dengan tidak menjadikan sekutu atau tandingan bagi Allah Ta’ala.

Dalam tauhid jenis kedua ini terkandung pengertian bahwa segala jenis ibadah hanyalah untuk Allah Ta’ala sajadia beriman bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat yang berhak atas berbagai jenis ibadah, dan peribadatan kepada selain Allah Ta’ala adalah peribadatan yang batil. Dengan tauhid ini seseorang akan memurnikan rasa cinta (mahabbah) kepada-Nya, dia juga takut (khauf), berharap (raja’), dan bertawakkal hanya kepada-Nya. [2]

Allah Ta’ala telah menggabungkan kedua macam tauhid tersebut di dalam surat Al-Ikhlas dan surat Al-Kafirun. Dalam firman Allah Ta’ala,

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

”Katakanlah,’Wahai orang-orang kafir!  Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah’”  (QS. Al-Kafirun [109]: 1-2).

terkandung kewajiban beribadah kepada Allah Ta’ala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan berlepas diri dari segala jenis peribadatan kepada selain-Nya.

Sedangkan dalam firman Allah Ta’ala,

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

”Katakanlah,’Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.’” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1).

terkandung kewajiban menetapkan sifat kesempurnaan bagi Allah Ta’ala dan mensucikan-Nya dari berbagai sifat aib dan cela.  Sehingga, di dalam surat Al-Ikhlas terdapat penjelasan tentang apa yang wajib bagi Allah Ta’ala berupa penetapan sifat-sifat kesempurnaan dan penyucian Allah Ta’ala dari aib dan kekurangan. Sedangkan di dalam surat Al-Kafirun terkandung kewajiban beribadah kepada-Nya semata, tidak beribadah kepada selain-Nya, serta berlepas diri dari setiap peribadatan kepada selain-Nya.

Allah Ta’ala juga telah menggabungkan kedua macam tauhid tersebut di berbagai ayat Al Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ (61) ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ (62)  كَذَلِكَ يُؤْفَكُ الَّذِينَ كَانُوا بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ (63) اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (64) هُوَ الْحَيُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (65)

”Allah-lah yang menjadikan malam untuk kamu supaya kamu beristirahat dan menjadikan siang terang benderang. Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyal karunia yang dilimpahkan atas manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Pencipta segala sesuatu, tiada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Maka bagaimanakah kamu dapat dipalingkan? Seperti demikianlah dipalingkan orang-orang yang selalu mengingkari ayat-ayat Allah.  Allah-lah yang menjadikan bumi tempat menetap bagimu dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rizki yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu. Maha Agung Allah, Rabb semesta alam.  Dialah yang hidup kekal, tiada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Maka sembahlah dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-Mu’min [40]: 61-65).

Salah satu dari dua tauhid tersebut tidaklah sempurna kecuali dengan menyempurnakan tauhid yang lainnya. Oleh karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca kedua surat ini -yaitu surat Al-Ikhlas dan Al-Kafirun- dalam shalat qabliyah subuh, shalat ba’diyah maghrib, dan shalat witir [3]. Dengan kedua surat tersebut, beliau memulai dan menutup amal perbuatannya sehari-hari. Sehingga hari-hari beliau dibuka dengan tauhid, dan ditutup pula dengan tauhid. [4]

***

Catatan kaki:

[1]     Lihat Mu’taqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 9.

[2]     Lihat Ijtima’ Al-Juyuusy Al-Islamiyyah, hal. 37; Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, 1/125-129; Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah, 2/54-55; Mu’taqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 31-50.

[3]    Lihat Shifatush Shalat hal. 189-190, karya Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah.

[4]     Lihat Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islamiyyahhal. 37-38.

Bagian 2

Komponen Keimanan kepada Allah Ta’ala

Para ulama rahimahumullah menjelaskan bahwa di dalam keimanan kepada Allah Ta’ala tercakup empat masalah (komponen) berikut ini.

Pertama, beriman terhadap wujud (keberadaan) Allah Ta’ala. Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah Ta’ala, maka dia bukan seorang mukmin. Meskipun tidak mungkin kita temukan seseorang yang mengingkari keberadaan Allah Ta’ala dengan hatinya, bahkan Fir’aun sekalipun. Musa ‘alaihis salaam berkata kepada Fir’aun,

قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا

“Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata. Dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa” (QS. Al-Isra’ [17]: 102).

Kedua, beriman terhadap keesaan Allah Ta’aladalam masalah rububiyyah. Yaitu beriman bahwasannya Allah-lah satu-satunya Dzat yang mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta.

Ketiga, beriman terhadap keesaan Allah Ta’aladalam masalah uluhiyyah. Yaitu beriman bahwasannya Allah-lah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa yang meyakini bahwa di samping Allah Ta’ala ada sesembahan lain yang berhak untuk disembah, maka dia tidak beriman kepada Allah Ta’ala.

Keempat, beriman terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tanpa menyelewengkan maknanya, tanpa mengingkarinya, tanpa mem-visualisasi-kannya, dan tanpa menyerupakannya dengan para makhluk-Nya. Barangsiapa yang menyelewengkan ayat-ayat atau hadits-hadits tentang sifat Allah Ta’ala, maka dia tidaklah beriman kepada Allah Ta’ala. [1]

Kesimpulannya, di antara tauhid yang dituntut bagi setiap hamba adalah tauhid asma’ wa shifat. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

”Di dalam keimanan kepada Allah Ta’ala tercakup empat masalah: beriman terhadap wujud-Nya, rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, serta nama dan sifat-Nya (asma’ wa shifat). Jika seseorang tidak beriman kepada empat masalah ini, maka keimanannya kepada Allah tidak sempurna. Dan keimanan kepada Allah mencakup empat hal ini semuanya. Barangsiapa mengingkari wujud-Nya Allah, maka dia bukan seorang mukmin. Barangsiapa mengingkari rububiyyah Allah –meskipun dalam sebagian makhluk-Nya saja-, maka dia bukan seorang mukmin. Barangsiapa mengingkari uluhiyyah Allah, maka dia bukan seorang mukmin. Dan barangsiapa mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka dia bukan seorang mukmin.” [2]

Pengertian Tauhid Asma’ wa Shifat

Tauhid asma’ wa shifat mengandung pengertian beriman kepada setiap nama (al-asmaa’) dan sifat (ash-shifaat) yang dengannya Allah Ta’ala menamai dan mensifati diri-Nya. Dan juga beriman bahwasannya tidak ada yang menandingi-Nya dalam nama dan sifat tersebut. Mensucikan-Nya dari segala sifat yang tercela, karena Allah Ta’ala benar-benar Maha Esa dengan segala sifat kebesaran dan kesempurnaan. Allah Ta’ala Maha suci dari segala sifat kekurangan dan persamaan dengan makhluk-Nya.

Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk menetapkan bagi Allah Ta’ala seluruh sifat yang sampai kepadanya, yaitu sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala bagi diri-Nya sendiri dalam kitab-Nya atau melalui lisan orang yang paling mengenal Allah Ta’ala, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan memberitahukan nama-nama-Nya yang paling indah dan sifat-sifat-Nya yang paling mulia. Semua itu disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. [3]

Penetapan sifat-sifat tersebut harus sesuai dengan kebesaran Allah Ta’ala, karena tidak ada satu pun yang menyamai dan menandingi-Nya. Allah Ta’ala telah mengabarkan tentang diri-Nya dalam firman-Nya,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Maha melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)

Allah Ta’ala juga berfirman,

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”  (QS. Maryam [19]: 65)

***

Catatan kaki:

[1]     Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hal. 43-44.

[2]     Syarh Al-Qowaa’idul Mutsla, hal. 18-19.

[3]     Lihat Sittu Duror min Ushuuli Ahlil Atsar, hal. 28.

Bagian 3

Tauhid Asma’ wa Shifat Merupakan Ilmu yang Paling Utama dan Paling Penting Secara Mutlak

Sesungguhnya kemuliaan sebuah ilmu itu mengikuti kemuliaan sesuatu yang dipelajarinya. Terdapat berbagai macam ilmu pengetahuan di dunia ini, di antaranya ilmu tentang lautan, lapisan-lapisan bumi, hewan-hewan, astronomi/perbintangan, dan lainnya. Selain itu, terdapat juga ilmu tentang mengenal Allah Ta’ala, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Maka tidaklah diragukan lagi bahwa pengetahuan yang paling mulia dan paling agung adalah pengetahuan tentang Allah Ta’ala. Dia-lah Rabb alam semesta ini, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala semata. Manusia sangat butuh untuk mempelajari ilmu ini karena begitu agungnya manfaat yang akan didapatkan. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa ilmu tentang Allah, tentang nama dan sifat-Nya merupakan ilmu yang paling mulia dan paling agung. Membandingkannya dengan seluruh ilmu lainnya seperti membandingkan objek yang dipelajarinya (yaitu Allah Ta’ala) dengan seluruh objek ilmu yang lainnya. [1]

Senada dengan penjelasan di atas adalah perkatan Ibnul ‘Arabi rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata,

فَإِنَّ شَرَفَ الْعِلْمِ بِشَرَفِ الْمَعْلُومِ ، وَالْبَارِي أَشْرَفُ الْمَعْلُومَاتِ ؛ فَالْعِلْمُ بِأَسْمَائِهِ أَشْرَفُ الْعُلُومِ

”Kemuliaan sebuah ilmu itu tergantung pada kemuliaan objek yang dipelajarinya. Sedangkan Al-Baari (yaitu Allah) adalah Dzat yang paling mulia. Maka ilmu tentang nama-namaNya adalah ilmu yang paling mulia.” [2]

Jika ada yang bertanya,”Ilmu hanyalah sarana untuk beramal dan dimaksudkan untuk beramal. Sedangkan tujuan dari mempelajari ilmu adalah untuk diamalkan. Dan telah diketahui bahwa tujuan itu lebih mulia daripada sarana. Maka bagaimana Engkau lebih mengutamakan sarana (ilmu) daripada tujuan (beramal)?”

Maka kita katakan kepadanya, bahwa ilmu dan amal itu sendiri masing-masing terbagi menjadi dua macam. Di antaranya ada yang menjadi sarana, dan ada pula yang merupakan tujuan. Sehingga tidaklah semua ilmu itu merupakan sarana untuk meraih yang lainnya. Adapun ilmu tentang Allah, tentang nama dan sifat-Nya merupakan ilmu yang paling mulia secara mutlak serta merupakan tujuan itu sendiri (bukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lainnya).

Allah Ta’ala berfirman,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

”Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 12)

Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa sesungguhnya Dia menciptakan langit dan bumi serta di antara keduanya agar hamba-Nya mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sehingga ilmu ini merupakan tujuan dari penciptaan. Allah Ta’ala berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

”Ketahuilah bahwasannya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)

Maka ilmu tentang keesaan Allah Ta’ala, bahwasannya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala semata, merupakan tujuan itu sendiri, dan bukan sarana. Meskipun tidaklah cukup ilmu tentang hal itu saja, akan tetapi harus disertai pula dengan peribadatan kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya.

Oleh karena itu, terdapat dua tujuan yang harus diraih oleh manusia. Pertama, mengenal Allah Ta’ala, nama-nama, dan sifat-sifatNya. Ke dua, beribadah kepada Allah Ta’ala sebagai tuntutan dan konsekuensi dari pengenalannya kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana ibadah merupakan tujuan yang ingin dicapai, maka demikian pula ilmu dan pengenalan tentang Allah Ta’ala. Dan sesungguhnya ilmu merupakan ibadah yang paling utama. [3]

Tauhid Asma’ wa Shifat Merupakan Pokok Ilmu Agama

Sebagaimana ilmu tentang nama dan sifat Allah Ta’ala merupakan ilmu yang paling mulia dan paling agung, maka ilmu tersebut merupakan pokok segala jenis ilmu. Setiap ilmu lainnya merupakan cabang dari ilmu tentang-Nya dan sangat membutuhkannya. Ilmu tentang Allah Ta’ala merupakan dasar dan pokok segala ilmu. Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia akan mengenal selain-Nya. Dan barangsiapa yang bodoh tentang Allah, maka dia akan lebih bodoh lagi terhadap selain-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

”Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS. Al-Hasyr [59]: 19)

Renungkanlah ayat ini, maka akan kita dapatkan makna yang dalam. Yaitu, barangsiapa yang lupa terhadap Rabb-nya, niscaya Allah Ta’ala akan menjadikannya lupa terhadap dirinya sendiri. Dia tidak lagi mengenal hakikat dirinya sendiri dan hal-hal yang merupakan kemaslahatan (kebaikan) bagi dirinya. Bahkan dia akan lupa terhadap sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan di akhiratnya. Karena dia telah keluar dari fitrah penciptaannya sehingga lupa kepada Rabb-nya. Sehingga Allah Ta’ala pun membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri dan kepada apa yang dapat mendatangkan kebahagiaan di dunia dan di akhiratnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

”Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya. Dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]: 28)

Mereka lalai dari mengingat Rabb-nya sehingga membuat dirinya melampaui batas. Dia tidak lagi memperhatikan hal-hal yang merupakan kemaslahatan (kebaikan) bagi dirinya serta apa yang dapat membersihkan dirinya. Bahkan dia telah mencerai-beraikan isi hatinya, menyia-nyiakannya, melalaikan kebaikannya, dan dia pun kebingungan tanpa arah.

Ilmu tentang Allah Ta’ala merupakan modal berharga bagi seorang hamba untuk meraih kebahagiaan, kesempurnaan, dan kebaikan di dunia dan di akhirat. Sedangkan kebodohan tentang ilmu tersebut, menimbulkan konsekuensi bodohnya dirinya terhadap dirinya sendiri, kebaikannya, dan kesempurnaannya serta bodoh tentang hal-hal yang bisa membahagiakan dirinya. Maka ilmu tentang Allah Ta’ala merupakan sumber kebahagiaan seorang hamba, sedangkan bodoh tentang Allah Ta’ala merupakan sumber kesengsaraan dirinya.

***

Catatan kaki:

[1]     Lihat Miftaah Daaris Sa’adah1/86; Al-Mujalla, hal. 22.

[2]     Ahkaam Al-Qur’an, 4/39.

[3]     Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah1/178.

[4]     Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah1/86.

Bagian 4

Buah dari Pengenalan terhadap Nama dan Sifat Allah

Termasuk di antara hal-hal yang menunjukkan pentingnya tauhid asma’ wa shifat adalah hal-hal yang merupakan buah dari pengenalan terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala di dalam hati seorang mukmin, yaitu semakin kokohnya keimanan dan keyakinan. Selain itu, semakin bertambah pula cahaya dan bashiroh yang dapat menjaganya dari syubhat yang menyesatkan dan dari syahwat yang diharamkan.

Jika ilmu ini kokoh menancap di dalam hati, pasti akan menghasilkan rasa takut (khosy-yah) kepada Allah Ta’ala. Setiap nama dari nama-nama Allah Ta’ala memiliki pengaruh tertentu dalam hati dan perbuatan. Jika hati mengetahui makna dari nama Allah Ta’ala, apa kandungannya, serta merasakannya, maka dia akan terdorong untuk melakukan hal-hal yang merupakan konsekuensi dari nama-nama Allah Ta’ala tersebut.

Setiap sifat ‘ubudiyyah (penghambaan) tertentu merupakan konsekuensi dan tuntutan dari nama dan sifat Allah Ta’ala. Nama-nama Allah Ta’ala yang husna (indah) dan sifat-Nya yang ‘ulya (tinggi) menimbulkan pengaruh ‘ubudiyyah tertentu. Hal ini mencakup seluruh jenis ‘ubudiyyah yang berasal dari hati maupun amal perbuatan. Misalnya, pengetahuan seorang hamba tentang keesaan Allah Ta’ala dalam mendatangkan bahaya atau manfaat, memberi, mencegah, menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, dan mematikan akan menghasilkan sifat ‘ubudiyyah berupa tawakkal kepada-Nya baik secara batin maupun lahir. Dia tidak akan bertawakkal kepada selain Allah Ta’ala, baik kepada para wali, jimat, atau kepada dirinya sendiri.

Pengetahuan seorang hamba terhadap pendengaran Allah Ta’ala, penglihatan-Nya, dan ilmu-Nya, bahwa tidak ada yang samar bagi Allah Ta’ala meskipun seukuran biji sawi, baik di langit maupun di bumi, bahwa Allah Ta’ala mengetahui yang rahasia dan tersembunyi di dalam dada, maka akan menghasilkan sikap menjaga lisan, perbuatan, dan gerak-gerik hatinya dari setiap yang tidak diridhai oleh Allah Ta’ala. Demikian pula dia akan menjadikan anggota tubuhnya untuk mengamalkan apa-apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala. Dan menghasilkan pula rasa malu di dalam hati sehingga mendorongnya untuk menjauhi hal-hal yang diharamkan.

Pengetahuan seorang hamba tentang kekayaan, kemurahan, kemuliaan, kebaikan, dan rahmat Allah Ta’ala akan menghasilkan luasnya raja’ (berharap) dari dalam dirinya. Dia tidak akan pernah berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala ketika sedang mendapatkan musibah. Demikian pula pengetahuan seorang hamba tentang kebesaran, keagungan, dan keperkasaan Allah Ta’ala akan menghasilkan khudhu’ (ketundukan), perendahan diri, dan kecintaan kepada Allah Ta’ala. Demikianlah, seluruh ‘ubudiyyah kembali kepada konsekuensi dari nama dan sifat Allah Ta’ala serta terkait dengannya. [1]

Dengan demikian jelaslah bahwa pengetahuan seorang hamba terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Allah Ta’ala di dalam kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya akan menyebabkan seseorang menghamba (beribadah) kepada Allah Ta’ala dengan sempurna. Sehingga manusia yang paling sempurna penghambaannya kepada Allah Ta’ala adalah manusia yang beribadah kepada-Nya dengan seluruh nama dan sifat Allah Ta’ala yang diketahuinya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,”Seseorang tidak mungkin beribadah kepada Allah Ta’ala dengan sempurna sampai dia mengetahui nama dan sifat Allah Ta’ala sehingga dia menyembah Allah Ta’ala di atas bashirah.” [2]

Pernyataan beliau rahimahullah tersebut didasarkan atas firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

”Hanya milik Allah-lah nama-nama yang husna. Maka berdoalah kamu dengannya.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)

Berdoa dengan nama Allah Ta’ala mencakup doa permintaan (doa mas’alah) atau ibadah secara umum. Karena semua ibadah yang kita lakukan pada hakikatnya adalah doa.

Berdasarkan ayat tersebut, maka termasuk kesempurnaan dalam berdoa adalah seseorang menjadikan perantaraan (ber-“tawassul”) dalam doanya dengan menyebutkan nama-nama Allah Ta’ala yang sesuai dengan isi permintaannya. Jika kita ingin meminta rizki, maka kita ber-tawassul dengan nama Allah “Ar-Rozzaaq” (Yang Maha pemberi rizki). Jika kita meminta ampun kepada Allah, maka kita ber-tawassul dengan nama Allah “Al Ghofuur” (Yang Maha mengampuni). Inilah salah satu bentuk tawassul dalam berdoa yang disyariatkan. Bahkan inilah yang telah dicontohkan oleh para Rasul ketika mereka berdoa kepada Allah Ta’ala. Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa kepada Allah,

فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الْغَافِرِينَ

”Maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat. Dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-A’raf [7]: 155)

Demikian pula Nabi Isa ‘alaihis salam, beliau berdoa kepada Allah,

وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

”Berilah kami rizki, dan Engkaulah Pemberi rizki yang paling utama.” (QS. Al-Maidah [5]: 114)

Sedangkan Nabi Ya’qub ‘alaihis salam, beliau berkata,

قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Yusuf [12]: 98)

Adapun dalam beribadah secara umum, maka hendaknya dibangun di atas ilmu tentang nama-nama Allah Ta’ala yang husna. Jika seseorang mengetahui bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Maha mengampuni, maka dia akan bersegera untuk memohon ampun kepada-Nya. Sedangkan memohon ampun (istighfar) termasuk ibadah. Jika seseorang mengetahui bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Maha mendengar, maka hal itu akan mencegah dirinya sehingga Allah tidak mendengar dari dirinya hal-hal yang dapat menyebabkan kemurkaan-Nya. Dia juga akan berkata-kata dengan sesuatu yang apabila didengarkan oleh Allah Ta’ala, hal itu akan medatangkan ridha-Nya. Dan semua ini termasuk ibadah. [3]

***

Catatan kaki:

[1]     Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah2/90.

[2]     Syarh Al-Qowa’idul Mutsla, hal. 20.

[3]     Lihat Syarh Al-Qowa’idul Mutsla, hal. 20-23; Fiqhu Ad-Du’a, hal. 27-29.

Bagian 5

Allah Ta’ala Telah Memperkenalkan Diri-Nya dalam Banyak Ayat Al-Qur’an

Allah Ta’ala telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan memberitahukan nama-nama-Nya yang paling indah dan sifat-sifat-Nya yang paling mulia. Semua itu disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Bahkan kita jumpai, hampir pada setiap ayat Al-Qur’an yang kita baca selalu diakhiri dengan peringatan atau penyebutan salah satu dari nama-nama Allah Ta’ala atau salah satu dari sifat-sifat-Nya. Sebagai contoh,  Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

” … Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah [9]: 5)

Dan juga firman-Nya,

وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

” … Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 17)

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

”Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah [2]: 235)

Hal ini semua disebabkan karena nama-nama yang terbaik dan sifat-sifat yang mulia ini memiliki daya pengaruh dan membekas dalam hati seseorang yang mengetahui-Nya. Sehingga dia selalu merasa diawasi oleh Allah Ta’ala dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian, rasa malunya kepada Allah pun menjadi sempurna. [1]

Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa penutupan ayat Al Qur’an dengan nama-nama Allah Ta’ala yang husna menunjukkan bahwa hukum yang disebutkan dalam rangkaian ayat tersebut memiliki kaitan dengan nama-Nya yang mulia. Dan ini merupakan suatu kaidah yang sangat bermanfaat. Jika kita memperhatikan dan meneliti semua ayat yang diakhiri dengan penyebutan nama Allah Ta’ala, maka kita akan mendapatkan kesesuaian. Yaitu syariat maupun perintah-Nya semuanya bersumber dari nama dan sifat-Nya serta sangat terkait dengannya. Sehingga jika seorang hamba mengenal Allah Ta’ala melalui nama-namaNya yang mulia, maka dia akan mengetahui pula hukum-hukum yang merupakan konsekuensi dari nama-nama Allah Ta’ala tersebut.

Misalnya adalah firman Allah Ta’ala,

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha kuasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 129)

Penutupan ayat tersebut dengan nama Allah “Al ‘Aziz” dan “Al Hakim” menunjukkan bahwa di dalam pengutusan Rasul tersebut terdapat rahmat Allah yang luas, kesempurnaan kekuasaan dan hikmah Allah Ta’ala. Karena tidak termasuk hikmah-Nya jika membiarkan makhluk-Nya begitu saja, tidak mengutus Rasul kepada hamba-Nya. Maka Allah mewujudkan hikmah-Nya dengan mengutus Rasul sehingga manusia tidak memiliki alasan setelah diutusnya Rasul tersebut. Sedangkan semua perkara tidak akan terjadi kecuali dengan kekuasaan dan hikmah Allah Ta’ala.

Contoh lainnya adalah perkataan Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimas salaam ketika keduanya meninggikan dasar baitullah,

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

”Dan ingatlah ketika Ibrahim dan isma’il meninggikan dasar baitullah, (sambil berkata), ’Wahai Rabb kami terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.’” (QS. Al-Baqarah [2]: 127)

Keduanya ber-tawassul dengan dua nama Allah (yaitu As-Samii’ dan Al-‘Aliim) agar amalnya diterima oleh Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala mengetahui niatnya, mendengar, dan mengabulkan doanya. Karena yang dimaksudkan dengan As-Samii’ dalam konteks “mendengar doa” bermakna “mengabulkan doa”. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam ayat lain,

إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ

”Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (mengabulkan) doa.” (QS. Ibrahim [14]: 39)

Ketika Allah Ta’ala selesai menyebutkan tentang hukum waris dan bagian masing-masing ahli waris, Allah Ta’ala berfirman,

فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

”Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)

Maka, karena Allah Ta’ala Maha mengetahui dan Maha bijaksana, Allah Ta’ala mengetahui apa yang tidak diketahui oleh hamba-Nya, dan Allah Ta’ala pun meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Oleh karena itu, patuhilah perintah Allah ketika membagi harta waris kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Karena pembagian itu berdasarkan ilmu Allah Ta’ala dan hikmah-Nya. Seandainya pembagian waris ini diserahkan kepada pemikiran dan ijtihad (logika atau hasil olah pikir) manusia sendiri, maka pembagian itu akan dilandasi dengan kebodohan dan hawa nafsu, serta tidak ada hikmah di dalamnya. Sehingga justru akan menimbulkan bahaya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencela hukum Allah Ta’ala, atau mengatakan,’ Seandainya hukumnya begini atau begitu’, maka dia telah mencela ilmu dan hikmah Allah Ta’ala. Dan sebagaimana Allah menyebutkan ilmu dan hikmah setelah menyebutkan hukum syariat-Nya, Allah Ta’ala juga menyebutkannya dalam ayat-ayat yang berisi tentang ancaman. Hal ini untuk menjelaskan kepada hamba-Nya bahwa syariat dan balasan-Nya berkaitan dengan hikmah-Nya dan tidak keluar dari ilmu-Nya. [2]

Kesimpulan

Tauhid asma’ wa shifat merupakan salah satu komponen keimanan kepada Allah Ta’ala dan merupakan ilmu yang paling pokok dan paling utama. Seorang hamba dituntut untuk mengenal Allah Ta’ala dengan mengetahui nama dan sifat yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan mengenal Allah Ta’ala, akan muncul pengagungan kepada-Nya dalam diri seorang hamba sehingga dia beribadah kepada Allah Ta’ala dengan sempurna. Juga akan muncul rasa takut kepada Allah Ta’ala sehingga mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

”Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah para ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)

[Selesai]

***

Catatan kaki:

[1]     Lihat Sittu Durar min Ushuuli Ahil Atsar, hal. 34.

[2]     Lihat Al-Qawaa’idul Hisan, hal. 51-57.

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya.

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengingat Kebenaran

Adab berteman, bermasyarakat, atau bersosial merupakan sifat sosial manusia itu sendiri. Memberikan manfaat sosial terhadap sesama makhluk sosial. Dalam Islam, tugas seorang muslim yaitu dengan memberikan pemahaman yg benar adalah benar, dan salah adalah salah sesuai dengan apa yang ia pahami dalam syariat Islam. Tidak ada maksud maksud lain seperti meggunjing (ghibah), dan memberikan penilaian negatif kepada orang lain tanpa adanya kebanaran yang terjadi, ini bisa menjadi fitnah. Menjadi pemicu kebisingan sosial yang mengganggu keharmonisan dalam berkehidupan dan bermasyarakat. Dalam Islam ada tradisi 'Saling Mengingatkan' yang berarti mengarahkan kembali kepada garis kebenaran. Dengan tujuan meluruskan yang salah sebagai bentuk manfaat yang diberikan manusia satu terhadap manusia yang lainnnya. Kata 'Saling' mengandung arti hubungan timbal balik. Sebagai contoh, "Jika kamu salah, aku yang akan mengingatkan, atau orang lain yang mengingatkan, dan jika aku salah,

Menaruh Harapan

Harapan atau asa adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan akan didapatkan atau suatu kejadian akan berbuah kebaikan di waktu yang akan datang. Pada umumnya harapan berbentuk abstrak, tidak tampak, namun diyakini bahkan terkadang, dibatin dan dijadikan sugesti agar terwujud (Wikipedia). Harapan merupakan hal yang sangat dekat dengan manusia sebagai bentuk dari ekspresi atau keinginan yang akan dicapai. Wujud dari harapan adalah adanya kepercayaan dalam diri bahwa akan ada kebaikan yang datang menghampiri sesuai dengan keinginan hati. Hal ini dinilai sebagai bagian dari ikhtiar yang ditujukan pada pemikiran positif dan optimis akan sesuatu. Pada tanggal 1 Muharram 1439 Hijriah menjadi media untuk berharap, menemani rentetan usaha yang akan dilakukan selama satu tahun kedepan. Tahun yang lalu merupakan pelajaran penting yang bisa diambil hikmah dari setiap kejadian pahit dan manis yang dialami. Bilamana terdapat kesalahan, cara terbaik yang dilakukan adalah berben