Langsung ke konten utama

Mendulang Faidah dari Hadits Perpecahan Umat

Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perpecahan umat.

Perpecahan kaum muslimin dalam agama, sebagaimana yang kita saksikan pada zaman sekarang ini, telah jauh-jauh hari dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَلَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِينَا فَقَالَ: أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
      
“Ketahuilah, ketika sedang bersama kami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlu kitab berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga, yaitu al-jama’ah.” (HR. Abu Dawud no. 4597, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Dalam riwayat At-Tirmidzi, dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بني إسرائيل حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ، حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ، وَإِنَّ بني إسرائيل تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً ، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
       
“Pasti akan datang kepada umatku, sesuatu yang telah datang pada bani Israil seperti sejajarnya sandal dengan sandal. Sehingga apabila di antara mereka (bani Israil) ada orang yang menggauli ibu kandungnya sendiri secara terang-terangan, maka pasti di antara umatku ada yang melakukan demikian. Sesungguhnya bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk ke dalam neraka. kecuali satu golongan.”

Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Mereka adalah golongan yang berjalan di atas jalan ditempuh oleh aku dan para sahabatku.” (HR. Tirmidzi no. 2641, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Faidah dari hadits-hadits tentang perpecahan umat

Terdapat banyak faidah yang dapat kita ambil dari hadits-hadits tentang perpecahan umat di atas. Dalam tulisan ini, kami sarikan sebagian faidah tersebut dalam poin-poin singkat berikut ini:

Faidah pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut bahwa satu golongan yang selamat tersebut adalah al-jama’ah.

Kalau kita memperhatikan dalil-dalil syar’i, istilah “al-jama’ah” itu kembali kepada dua makna:

Al-jama’ah dalam makna “bersatu karena berpegang teguh dengan kebenaran”. Inilah makna al-jama’ah dalam istilah “ahlus sunnah wal jama’ah”. Yang dimaksud dengan “kebenaran” itu adalah mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga mengikuti kesepakatan (ijma’) para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Inilah makna al-jama’ah yang diisyaratkan dalam hadits di atas, yaitu bersatu dalam kebenaran.

Artinya, al-jama’ah adalah sifat orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran, yaitu ijma’ salaf. Dengan kata lain, al-jama’ah itu tidak identik dengan kelompok, organisasi, yayasan, atau partai tertentu. Karena al-jama’ah itu adalah sifat, siapa saja yang bersifat dengan al-jama’ah, maka dia adalah al-jama’ah.

Jadi, selama seseorang itu berpegang dengan ijma’ salaf, maka dia berada dalam al-jama’ah, meskipun secara kenyataan dan realita, dia seorang diri dan tidak memiliki teman. Hal ini sebagaimana kata sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

إنما الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك
      
Al-jama’ah itu hanyalah yang mencocoki kebenaran, meskipun Engkau seorang diri.” (Al-hawaadits wal bida’, karya Abu Syaamah, hal. 22)

Pengertian ke dua dari al-jama’ah adalah bersatu untuk mengakui dan patuh kepada penguasa muslim, dan haram memberontak kepada penguasa (ulil amri) yang sah. Sehingga siapa saja yang berada di tengah-tengah negeri kaum muslimin, namun dia meyakini boleh memberontak kepada penguasa kaum muslimin yang sah, maka dia pada hakikatnya tidak berada dalam al-jama’ah meskipun secara lahiriyah dia tinggal di negeri tersebut.

Al-jama’a dengan pengertian ke dua ini, adalah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ: إِخْلَاصُ العَمَلِ لِلَّهِ، وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ المُسْلِمِينَ، وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ، فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
        
“Ada tiga hal yang jika terdapat dalam diri seseorang, maka dia akan terbebas dari al-ghill (yaitu, menghendaki kejelekan untuk orang lain atau permusuhan yang tersembunyi, pen.), yaitu (1) seseorang beramal ikhlas karena Allah Ta’ala; (2) menginginkan kebaikan (memberikan nasihat) kepada para pemimpin kaum muslimin; dan (3) komitmen dengan jamaah kaum muslimin(yaitu jamaah kaum muslimin di atas satu komando pemimpin yang sah, pen.). Karena seruan itu meliputi dari belakang mereka (maksudnya, ketika seorang pemimpin telah diangkat sebagai penguasa oleh yang berhak mengangkatnya, maka kewajiban taat mengikat semua kaum muslimin, pen.).” (HR. Tirmidzi no. 2658, Ibnu Majah no. 230, Ahmad 3: 225, hadits shahih)

Faidah ke dua, hadits-hadits di atas adalah dalil bahwa umat-umat terdahulu (yaitu Yahudi dan Nasrani) sebelum umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengalami perpecahan.

Meskipun mereka tampak bersatu, tetapi pada hakikatnya mereka berpecah belah dalam banyak aliran, sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kita tidak perlu tertipu dengan tampilan-tampilan yang mengesankan bahwa tidak ada perpecahan dalam agama mereka.

Allah Ta’ala telah menjelaskan sifat orang-orang jahiliyyah, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan juga para penyembah berhala dengan Allah Ta’ala katakan,

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ؛ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
        
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum [30]: 31-32)

Faidah ke tiga, perpecahan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan dalam hadits ini bukanlah perpecahan karena urusan atau perkara duniawi sebagaimana persangkaan sebagian orang. Misalnya, bukan karena memperebutkan harta dan memperebutkan pangkat dan jabatan. Akan tetapi, perpecahan yang disebutkan Nabi adalah perpecahan dalam masalah (pemahaman) agama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan dalam hadits di atas,

وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً
          
“Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga ‘millah’(golongan).” (HR. Tirmidzi no. 2641)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut masing-masing aliran dengan istilah “millah” (agama). Hal ini menunjukkan bahwa aliran-aliran tersebut berbeda dengan millah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Sehingga perbedaan antara millah-millah (yang menyimpang) tersebut dengan millah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perbedaan jalan, perbedaan pemahaman, atau perbedaan metodologi dalam beragama.

Faidah ke empat, hadits ini menunjukkan bahwa jalan kesesatan itu banyak, sedangkan jalan kebenaran itu hanya satu saja (tunggal, tidak berbilang). Artinya, banyak model kesesatan. Untuk menjadi orang sesat itu banyak jalannya, sehingga tinggal “memilih”.

Adapun jalan kebenaran, yaitu jalan Allah, jalan Rasul-Nya, dan jalan ini pula yang ditempuh oleh para sahabat, itu hanya satu dan tidak berbilang. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
        
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Kuyang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am [6]: 153)

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menggunakan kata tunggal ketika menyebutkan jalan-Nya, yaitu “shirath”. Sedangkan ketika Allah Ta’ala menyebutkan jalan kesesatan, Allah Ta’ala memakai bentuk jamak, yaitu “as-subul”. Sekali lagi, ini menjelaskan bahwa jalan kebenaran itu hanya itu, itulah jalan Allah, sedangkan jalan kesesatan itu banyak dan berbilang.

Faidah ke lima, sebagian orang sala paham dengan hadits di atas dengan mengatakan bahwa, “Mereka (yang mengklaim dirinya sebagai ahlus sunnah) ingin mengkapling surga sendiri.” Ini adalah salah paham dengan hadits di atas.

Hal ini karena tujuh puluh dua golongan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan sesat, mereka itu masih menjadi bagian umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga berhak masuk surga, namun mereka terancam dengan neraka.

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan,

وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي
       
“Dan umatku akan terpecah … “

Umat apa yang dimaksud? Perlu diketahui bahwa ada dua jenis umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pertama adalah “umat dakwah”, yaitu semua orang yang menjadi objek sasaran dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang hidup sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Rasul, hingga hari kiamat. Ke dua adalah “umat ijabah”, yaitu mereka yang menerima dan merespon dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menjadi bagian dari kaum muslimin.

Pengertian “umatku” dalam hadits di atas bermakna umat ijabah. Sehingga tujuh puluh dua golongan tersebut masih termasuk dalam bagian umat Islam yang nantinya akan masuk surga, bukan orang kafir yang kekal di neraka.

Lalu, apakah mereka pasti masuk neraka? Jawabannya, belum tentu. Ancaman untuk masuk neraka ini terwujud (benar-benar terwujud) jika syarat-syarat terpenuhi dan tidak ada penghalang. Hal ini sesuai dengan kaidah umum bahwa dalil-dalil yang berisi ancaman neraka itu akan terwujud jika syarat (kondisi) terpenuhi dan tidak ada faktor penghalang.

Orang yang meninggal dan dia berada di salah satu dari tujuh puluh dua golongan, berarti bahwa telah terpenuhi syarat (kondisi) orang tersebut untuk terkena ancaman. Namun, masih ada faktor penghalang. Di antara faktor penghalang adalah adanya rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala. Kalau ternyata Allah Ta’ala mengampuni, maka tentu tidak jadi masuk neraka.

Berdasarkan penjelasan ini, maka tidak benar bahwa surga itu “dimonopoli” oleh ahlus sunnah wal jama’ah saja. Kecuali kalau jalan kesesatan mereka itu berada di luar tujuh dua golongan itu (alias kesesatan yang menyebabkan kekafiran sehingga tidak lagi termasuk dalam umat ijabah), maka mereka kekal di neraka, seperti golongan Ahmadiyyah.

Faidah ke enam, adanya tujuh puluh dua golongan kesesatan, sedangkan jalan kebenaran itu hanya satu, tidak mengharuskan bahwa jumlah orang yang berada dalam kesesatan itu lebih banyak daripada jumlah ahlus sunnah yang berada di atas kebenaran.

Sebagian orang beranggapan bahwa mayoritas umat saat ini berada di atas ‘aqidah Asy’ariyyah. Perkataan ini adalah perkataan yang tidak benar. Karena tidak ada orang yang beraqidah Asy’ariyyah, kecuali dia menekuni buku-buku atau kitab-kitab Asy’ariyyah. Sehingga yang benar, bahwa mayoritas umat sekarang adalah ahlus sunnah.

Di antara buktinya, jika dalam suatu acara akan dibacakan Al-Qur’an, maka pembawa acara akan mengatakan, “Mari kita mendengarkan sejenak firman Allah Ta’ala … “

Kalimat di atas adalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa orang-orang awam kaum muslimin berada di atas aqidah ahlus sunnah. Karena jika mereka beraqidah Asy’ariyyah, tentu mereka tidak akan pernah mengucapkan kalimat itu, karena Al-Qur’an bukanlah firman Allah menurut aqidah Asy’ariyyah.

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 2 Ramadhan 1440/7 Mei 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Catatan kaki:

Tulisan ini pada asalnya merupakan catatan penulis ketika menyimak kajian kitab Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, karya Syaikh Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin (hal. 8-9), yang disampaikan oleh guru kami, Ustadz Aris Munandar, kemudian kami lengkapi dan kami tambahkan keterangan-keterangan yang diperlukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengingat Kebenaran

Adab berteman, bermasyarakat, atau bersosial merupakan sifat sosial manusia itu sendiri. Memberikan manfaat sosial terhadap sesama makhluk sosial. Dalam Islam, tugas seorang muslim yaitu dengan memberikan pemahaman yg benar adalah benar, dan salah adalah salah sesuai dengan apa yang ia pahami dalam syariat Islam. Tidak ada maksud maksud lain seperti meggunjing (ghibah), dan memberikan penilaian negatif kepada orang lain tanpa adanya kebanaran yang terjadi, ini bisa menjadi fitnah. Menjadi pemicu kebisingan sosial yang mengganggu keharmonisan dalam berkehidupan dan bermasyarakat. Dalam Islam ada tradisi 'Saling Mengingatkan' yang berarti mengarahkan kembali kepada garis kebenaran. Dengan tujuan meluruskan yang salah sebagai bentuk manfaat yang diberikan manusia satu terhadap manusia yang lainnnya. Kata 'Saling' mengandung arti hubungan timbal balik. Sebagai contoh, "Jika kamu salah, aku yang akan mengingatkan, atau orang lain yang mengingatkan, dan jika aku salah,

Menaruh Harapan

Harapan atau asa adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan akan didapatkan atau suatu kejadian akan berbuah kebaikan di waktu yang akan datang. Pada umumnya harapan berbentuk abstrak, tidak tampak, namun diyakini bahkan terkadang, dibatin dan dijadikan sugesti agar terwujud (Wikipedia). Harapan merupakan hal yang sangat dekat dengan manusia sebagai bentuk dari ekspresi atau keinginan yang akan dicapai. Wujud dari harapan adalah adanya kepercayaan dalam diri bahwa akan ada kebaikan yang datang menghampiri sesuai dengan keinginan hati. Hal ini dinilai sebagai bagian dari ikhtiar yang ditujukan pada pemikiran positif dan optimis akan sesuatu. Pada tanggal 1 Muharram 1439 Hijriah menjadi media untuk berharap, menemani rentetan usaha yang akan dilakukan selama satu tahun kedepan. Tahun yang lalu merupakan pelajaran penting yang bisa diambil hikmah dari setiap kejadian pahit dan manis yang dialami. Bilamana terdapat kesalahan, cara terbaik yang dilakukan adalah berben