Langsung ke konten utama

Kisah Perjuangan Dakwah Pemurnian Tauhid



Kyai Ammar Faqih Maskumambang, Gresik

-------------------------------------------------------------------
Pengantar..

Artikel ini bermaksud untuk menapak tilas jejak dakwah pemurnian tauhid di Nusantara pada masa lampau dan menjadikannya sebagai kenang-kenangan dan pelajaran bagi para da’i masa kini.

Jika beberapa waktu yang lalu, kami sempat mengajak pembaca merenungkan lika-liku dakwah Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri di Bumi Serambi Makkah, maka kali ini penulis akan mengajak pembaca sekalian menengok sebuah kisah di pelosok Kota Gresik, Jawa Timur.

Di tengah pengapnya lingkungan Islam Tradisional yang sudah mapan berabad-abad, muncul seorang pemuda bernama Ammar, dengan ghirahnya yang sangat tinggi, berusaha menjebol tembok tradisi dan meniti karir mengubah jalan sejarah dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya.

Dalam artikel ini, kami hanya sekedar merangkum dan menukil dari beberapa sumber yang tersedia. Ada dua penelitian (skripsi) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya tentang tokoh-tokoh Pesantren Maskumambang Gresik yang kami jadikan sandaran.

Penelitian pertama berjudul “Muhammad Faqih Maskumambang dan Sikapnya terhadap Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab”, karya Ari Nurhidayaty Ningtyas, tahun 2016

Penelitian kedua berjudul “Dinamika Pengembangan Pondok Pesantren Maskumambang Tahun 1937 – 1977 M (Studi Pembaharuan dalam Bidang Aqidah oleh KH. Ammar Faqih dan KH. Nadjih Ahjad)”, tahun 2016.

Secara umum, kedua penelitian tersebut berporos pada keterangan/kesaksian yang disampaikan oleh Kyai Marzuki Ammar, yang merupakan putra dari Kyai Ammar dan cucu dari Kyai Faqih.

Pada beberapa tempat, kami juga mencuplik keterangan resmi yang disajikan oleh website resmi Pondok Pesantren Maskumambang (www.maskumambang.ac.id).


-------------------------------------------------------------------
Maskumambang..

Pada tahun 1855 M, seorang ‘alim bernama Kyai Abdul Jabbar (lahir sekitar tahun 1820 M), bersama dengan istrinya, Nursimah - putri dari Kiai Idris Kebondalem Bojonegoro – memutuskan untuk mengembara dengan tujuan berdakwah ke beberapa tempat yang masih berupa hutan rimba. Pada akhirnya keduanya menemukan sebuah tempat di daerah Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun. Di tempat ini keduanya membuka sebidang tanah lalu mendirikan tempat tinggal sederhana.

Beberapa tahun tahun kemudian, Kyai Abdul Jabbar dan istrinya pergi berziarah ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Perjalanan yang mereka tempuh kurang lebih selama 2 tahun. Sepulangnya dari Mekkah, mereka mendirikan sebuah langgar (mushola) di sebelah rumah dengan tujuan untuk mengajar ilmu-ilmu agama tetangga dan anak-anak.

Setelah beberapa lama, minat belajar warga sekitar semakin bertambah. Jumlah santri semakin banyak. Bahkan banyak diantara mereka yang datang dari luar Sembungan Kidul. Melihat antusiasme masyarakat yang sedemikian itu, akhirnya pada tahun 1859 M Kyai Abdul Jabbar mendirikan secara resmi sebuah pondok pesantren. Pada awalnya pesantren ini hanya terdiri dari 3 buah kamar berukuran kecil. Pondok pesantren inilah yang akhirnya diberi nama Pondok Pesantren Maskumambang. Pondok pesantren ini merupakan pondok pesantren tertua di Gresik, yang didirikan setelah Pondok Pesantren Qomarudin di Bungah yang berdiri pada tahun 1775 M atau 1181 H.

Kyai Abdul Jabbar mendirikan pondok pesantren ini sebagai usahanya untuk mencetak kader-kader da’i yang dapat menghapus kepercayaaan-kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Nama Maskumambang sendiri, diambil dari kata “Mas” dan “Kumambang”. “Mas” berarti emas yang bermakna perhiasan dan “Kumambang” berasal dari Bahasa Jawa Kambang (ngambang) yang berarti terapung atau tampak. Jadi Maskumambang bermakna bahwa pondok pesantren ini diharapkan menjadi emas/perhiasan yang tampak dan menjadi kebanggaan umat Islam dan masyarakat sekitarnya.

Pada awal berdirinya, jumlah santri Pesantren Maskumambang masih sangat sedikit. Mereka terdiri dari anak-anak Kyai Abdul Jabbar sendiri dan anak-anak kampung sekitar Maskumambang. Metode pembelajaran yang digunakan masih sederhana, yaitu metode halaqah dan sorogan.

Dari sisi paham keagamaannya, Pesantren Maskumambang pada era Kyai Abdul Jabbar sangat kuat mengikuti madzhab Asy’ariyyah-Maturidiyyah dalam hal aqidah, dan Syafi’iyyah dalam hal fiqh. Hal ini memang sudah menjadi ciri khas dari pesantren yang berada di wilayah Jawa Timur saat itu. Amaliyah dan tradisi pesantren pada umumnya saat itu tetap dipertahankan dan dipraktikkan di Pesantren Maskumambang. Tradisi ziarah kubur, tahlilan dan haul diterapkan. Amaliyah peribadahan khas Madzhab Syafi’iyyah seperti doa qunut subuh, 2 adzan pada shalat Jumat dan shalawatan menjadi kebiasaan sehari-hari di Pesantren Maskumambang.

Kyai Abdul Djabbar sendiri wafat pada tahun 1907 M atau 1325 H dalam usia 87 tahun. Semoga Allah merahmati Beliau.

Beliau wafat dengan meninggalkan sepuluh anak, yakni Rois, Alimah, Abu Dzarrin, Muhammad Faqih, Atqon, Shahid, Muhsinah, Harun, Ahmad Muhtadi dan Abdul Musthain.

Kepemimpinan pondok pesantren kemudian dilanjutkan oleh putranya yang keempat yaitu Kyai Muhammad Faqih, atau yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Kyai Faqih Maskumambang. Pengangkatan Kyai Faqih sebagai pemimpin Pondok Pesantren dilakukan secara musyawarah. Namun kepemimpinan pondok pesantren sendiri sebenarnya bersifat kolektif, artinya meskipun Kyai Faqih merupakan pemimpin pondok pesantren, akan tetapi semua putra dan putri Kyai Abdul Jabbar juga ikut dalam berperan dalam mengelola pesantren.


-------------------------------------------------------------------
Kyai Faqih, Singa Aswaja Penolak Wahabi..

Kyai Muhammad Faqih (lahir sekitar tahun 1857 M) merupakan putra Kyai Abdul Jabbar yang sangat menonjol. Selain belajar kepada ayahnya sendiri, Kyai Faqih juga tercatat pernah belajar kepada Kyai Ahmad Sholeh dari Pesantren Langitan.

Setelah 3 tahun menimba ilmu di Pesantren Langitan, Kyai Faqih melanjutkan belajarnya ke Pesantren Kebondalem Surabaya. Sepulang dari Surabaya Beliau kembali menuntut ilmu ke Pesantren Ngelom Sepanjang di Sidoarjo. Berlanjut kemudian ke pesantren yang diasuh oleh Kiai Sholeh Tsani, yaitu Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah Gresik.

Kyai Faqih juga tercatat pernah belajar di Pesantren Demangan, Bangkalan, yang diasuh oleh seorang ulama masyhur Syaikh Muhammad Khalil Bangkalan.

Selesai mendalami ilmu di daerah Jawa, Kyai Faqih menunaikan ibadah haji sambil belajar di Makkah. Ia belajar kepada ulama-ulama Haramain, salah satunya kepada Syaikh Mahfuzh at-Turmusi, salah satu pengajar di Masjidil Haram. Selama belajar di tanah suci ini, Beliau bertemu dengan banyak teman yang berasal dari Indonesia, seperti Kyai Muhammad Hasyim Asy’ari Jombang dan Kyai Munawwir Krapyak. Dengan Kyai Hasyim, Beliau berkawan akrab hingga bersama-sama berjuang mendirikan Nahdlatul Ulama di kemudian hari.

Setelah selesai menuntut ilmu di Haramain selama 3 tahun, Kyai Faqih memutuskan pulang ke Maskumambang dan membantu sang ayah untuk mengajar.

Setelah memegang tampuk kepemimpinan pesantren menggantikan sang ayah, Kyai Faqih mulai memusatkan perhatiannya untuk mengasuh pesantren Maskumambang dengan dibantu oleh saudara-saudaranya dan didukung oleh masyarakat sekitarnya. Ia melakukan pengembangan pesantren dari segi fisik dan sistemnya.

Pada masa kepemimpinan Kyai Faqih, santri yang berdatangan untuk menimba ilmu bukan hanya dari sekitar Maskumambang saja. Banyak juga santrai dari beberapa daerah lain. Hal tersebut dikarenakan letak Pesantren dekat dengan Sidayu Gresik, yang pada saat itu menjadi pusat perdagangan, yaitu tempat berkumpulnya pedagang dari Pulau Madura, Kalimantan, Sumatera, Surabaya, Tuban, Lamongan dan daerah-daerah lainnya. Selain itu, Sidayu juga menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Gresik.

Banyak kyai-kyai masyhur yang tercatat pernah ngangsu kawruh di Pesantren Maskumambang era kepemimpinan Kyai Faqih, diantaranya seperti Kyai Zubair Dahlan (pendiri Pesantren Sarang Jawa Tengah, sekaligus ayah dari Kyai Maimun Zubair), Kyai Wahid Hasyim Jombang (putra Kyai Hasyim Asy’ari Pendiri NU), Kyai Abdul Hadi Langitan, Kyai Faqih Usman (Ketua Muhammadiyah), dan lain-lain.

Dalam hal pengajaran Kyai Faqih juga tidak hanya menggunakan metode halaqah dan sorogan lagi. Tetapi juga menggunakan sistem bandongan, dan wetonan. Dalam hal kurikulum pembelajaran, Kyai Faqih menggunakan sistem pengajaran tuntas kitab.

Sedangkan dalam hal amaliyah ibadah, Maskumambang era Kyai Faqih tidak jauh berbeda dengan masa Kyai Abdul Jabbar. Tradisi-tradisi pada masa Kyai Abdul Jabbar masih dilanjutkan, seperti tradisi ziarah ke makam wali dan orang-orang keramat, tahlilan pada orang yang sudah meninggal, mengadakan perayaan meninggalnya ulama (haul), penggunaan bedug sebagai tanda masuknya waktu salat, doa qunut, penentuan awal bulan dengan rukyat, shalawatan, dan sebagainya.

Melihat riwayat belajar dan amaliyah ibadah sehari-hari, terlihat bagaimana kekokohan karakter “aswaja” dalam diri seorang Kyai Faqih. Beliau merupakan ulama sangat teguh mempertahankan prinsip-prinsip “aswaja”, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta mendakwahkannya pada keluarga dan para santrinya.

Ketika gelombang pembaharuan Islam ala Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Sayyid Rasyid Ridha berhembus kencang, Kyai Faqih termasuk salah seorang ulama yang gigih melawan propaganda pembaharuan tersebut. Baginya, gerakan pembaharuan tersebut telah mencederai prinsip-prinsip “aswaja” yang selama ini diyakininya. Menurut Beliau, gerakan pembaharuan tersebut merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran sesat yang disebarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang kemudian dikenal dengan nama madzhab Wahabi. Sedangkan Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri menurut Beliau telah mengambil “kesesatannya” dari kitab-kitab karya Ibnu Taimiyyah, satu nama yang pasti akan bikin risih ulama “aswaja” semacam Beliau ketika mendengar namanya.

Gerakan pembaharuan tersebut kemudian makin lama makin mekar di Nusantara dengan didirikannya beberapa organisasi Islam yang terpengaruh olehnya, yakni organisasi Muhammadiyah yang lahir tahun 1912 M dan organisasi Al Irsyad yang lahir pada tahun 1914 M.

Semakin menguatnya paham pembaharuan atau Wahabi di Nusantara jelas membuat risau Kyai Faqih. Didorong oleh semangat mempertahankan dakwah “aswaja” dari gempuran infiltrasi Wahabi inilah, Beliau kemudian menulis sebuah kitab bantahan terhadap paham Wahabi berjudul “An Nushush al Islamiyyah fi ar Raddu ‘ala Madzhab al Wahhabiyah”. Kitab ini ditulis saat Beliau sedang berada di Mesir dan kemudian diterbitkan pertama kali oleh penerbit Mesir Darul Ihya Kutubul ‘Arabiyah pada tahun 1341 H atau 1922 M. Dalam kitab ini Beliau bantah segala pemikiran paham Wahabi dan para tokohnya yang menurut Beliau bertentangan dengan paham “aswaja”.

Kitab ini terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama berisi bantahan atas penukilan-penukilan yang menyesatkan yang dilakukan oleh pengikut pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab terutama Jamaluddin ad-Dimasyqi. Bagian kedua menjelaskan tentang perkara-perkara yang menjadi konsensus (ijma’) para ulama “aswaja” menurut Beliau. Bagian ketiga dari buku ini menjelaskan tentang karakteristik pemikiran para pemimpin aliran wahabi, diantaranya adalah pemikiran Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al Jauziyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Syukri Afandi al Alusi al-Baghdadi, dan Abdul Qadir at-Tilimsani.

Bahasa penulisan kitab ini sangat kasar/tegas, karena Kyai Faqih merasa geram dengan perkembangan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab sehingga beliau membuat kitab ini  dengan bahasa yang tegas agar pembaca tahu bahwa Beliau memang menolak pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab.

Menurut penuturan salah seorang cucunya (Kyai Marzuki Ammar), Kyai Faqih menulis kitab tersebut setelah terinsipirasi dengan sebuah kitab yang juga berisi bantahan terhadap Wahabi yang berjudul “Fajrul Shadiq”. Diduga yang dimaksud dengan kitab “Fajrul Shadiq” tersebut adalah kitab yang berjudul lengkap “Fajrul Shadiq fi ar-Radd 'ala Munkiri at-Tawassul wal Khawariq” yang ditulis oleh Syaikh Jamil Effendi Sidqi az-Zahawi al-Baghdadi (1863 M – 1936 M).

Juhud Kyai Faqih dalam menolak paham Wahabi tidak hanya sampai disini saja. Beliau bersama-sama dengan rekan-rekannya seperti Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Abdul Wahhab Chasbullah kemudian mendirikan organisasi Islam Nahdhatul ‘Ulama (NU). Organisasi ini bermula dari sebuah komite bernama “Comite Hijaz” yang didirikan memang untuk membendung arus gerakan pembaharuan yang didengungkan oleh Muhammadiyah dan Al Irsyad, yang diduga terpengaruh paham Wahabi. Dalam NU, Kyai Faqih menduduki posisi yang sangat dihormati, yakni Wakil Rais Akbar. Sedangkan Rais Akbarnya sendiri diduduki oleh Kyai Hasyim Asy’ari.


-------------------------------------------------------------------
Ammar..

8 Desember 1902, tangis seorang bayi memecah kesunyian Desa Sembungan Kidul, Gresik. Hari itu, lahirlah anak keempat dari Kyai Faqih. Agaknya bayi ini kelak akan menjadi orang yang istimewa. Beberapa saat sebelum kelahirannya, Kyai Faqih sempat mendapat firasat melalui mimpi. Beliau melihat matahari dan bulan dalam mimpinya. Mimpi itu kemudian Beliau ceritakan kepada sang Ayah (Kyai Abdul Jabbar). Kyai Abdul Jabbar kemudian mentakwil mimpi tersebut dengan mengatakan bahwa kelak sang anak yang akan lahir tersebut akan menjadi anak yang “hebat”, akan tetapi mempunyai “sedikit kenakalan”. Kyai Faqih kemudian menamai anaknya tersebut dengan “Ammar”.

Ammar tumbuh menjadi seorang anak yang sangat cerdas. Berbagai pelajaran agama yang diperolehnya dari Sang Ayah dilahapnya tuntas. Kyai Faqih sendiri tak pernah membeda-bedakan perlakukan kepada seluruh anaknya. Semua mendapat porsi pelajaran dan pengasuhan yang sama.

Sejak kecil Ammar sudah terbiasa dengan pelajaran aqidah dan tauhid (tentu saja ala “aswaja”), fiqih Syafi’iyyah, nahwu, sharaf, balaghah, dan tasawuf. Kesemuanya dengan bertalaqqi langsung kepada Sang Ayah dan pengajar-pengajar lain di Pesantren Maskumambang. Tak heran, sebelum menginjak usia 20 tahun, Ammar telah menguasai seluruh pelajaran agama yang diserapnya dari Sang Ayah. Tak lama kemudian, genap pada usia 23 tahun, Ammar berhasil menyelesaikan hafalan Al Qur’an-nya dengan sempurna. Dan ini membuat dirinya semakin mendapat tempat di hati Sang Ayah.


-------------------------------------------------------------------
Ziarah ke Baitullah..

Menginjak usia 25 tahun, Ammar mendapatkan restu dari Sang Ayah untuk menikah. Pada tahun 1926, Ammar pun akhir mengakhiri masa lajang sekaligus menggenapkan separuh agamanya dengan menikahi seorang gadis dari Desa Dukunanyar Gresik bernama Musyrifah. Dari pernikahan ini, Ammar dikaruniai 2 orang anak perempuan bernama Sa’adatudzdzarioni dan Dlohwah.

Segera setelah melangsungkan pernikahan, Ammar memutuskan untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus bertekad untuk menimba ilmu agama dari ulama-ulama Haramain disana. Sang Ayah merestui. Saat itu, menimba ilmu ke Haramain hamper merupakan sesuatu yang wajib yang dilakukan oleh seseorang yang ingin memperdalam dan menyempurnakan ilmu agamanya.

Maka berangkatlah Ammar berziarah ke Baitullah. Transportasi yang tersedia saat itu hanya kapal api, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai ke Makkah.


-------------------------------------------------------------------
Titik Balik..

Setelah menunaikan ibadah haji, Ammar memenuhi tekadnya untuk meneruskan belajar agama kepada ulama-ulama Haramain. Ammar rajin sekali mendatangi kajian dan pelajaran yang disampaikan oleh ulama-ulama terkenal yang saat itu mengajar di Haramain.

Ketika belajar di Haramain inilah, tanpa disangka-sangka Ammar bergaul erat dengan ulama-ulama yang berpaham atau yang terpengaruh dengan paham Wahhabi. Ammar menyadari bahwa paham Wahhabi merupakan paham yang sangat ditentang oleh Sang Ayah dan pesantren tempat kelahirannya. Namun demikian, Ammar justru tertarik untuk menyelidiki paham ini langsung dari sumbernya.

Benarkah Wahhabi seperti yang selama ini diceritakan oleh Sang Ayah ?

Benarkah Wahhabi seperti yang selama ini didongengkan oleh guru-gurunya di Maskumambang?

Ammar menganggap bahwa inilah kesempatan terbaiknya untuk mengklarifikasi tuduhan-tuduhan yang selama ini disematkan kepada Wahhabi. Ammar sadar, bahwa andaikata Sang Ayah tahu tentu dia akan ditentang dengan keras oleh Sang Ayah. Dan saat ini, ketika berada di Haramain, adalah kesempatan yang terbaik untuk menyelidiki apa sebenarnya Wahhabi itu, mumpung Sang Ayah tidak tahu.

Penyelidikan Ammar berbuah hal yang lebih tak terduga. Dia mendapati ternyata apa yang selama ini diceritakan Sang Ayah tentang Wahhabi merupakan kesalahpahaman semata.

Wahhabi tidaklah seperti yang digambarkan oleh Sang Ayah dan guru-gurunya di Maskumambang.

Lebih dari itu, Ammar sendiri justru kini malah terpengaruh oleh ajaran-ajaran pemurnian tauhid yang diajarkan oleh Wahhabi. Di Haramain, Ammar berkesempatan untuk mengakses dan mempelajari secara langsung karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kitab at Tauhid merupakan salah satu karya yang berkesan di hati Ammar. Dia berkesimpulan bahwa Wahhabi bukanlah ajaran sesat sebagaimana dipahami Sang Ayah.

Dari mana Ammar mendapat pengaruh dan pengajaran Wahhabi ? Sumber-sumber yang ada tidak menyebutkannya secara jelas. Namun berdasarkan penjelasan dari Kyai Marzuki Ammar, diperoleh keterangan bahwa Ammar mendapatkan pengaruh Wahhabi dari salah seorang gurunya yang bernama Syaikh Umar Hamdan. Disebutkan bahwa Syaikh Umar Hamdan ini merupakan salah seorang ulama Makkah yang mempunyai hubungan erat dengan paham Wahhabi.

Siapakah Syaikh Umar Hamdan ini ? Apakah beliau ini adalah Syaikh Umar Hamdan al Mahrasi yang masyhur itu ? Wallahu a’lam.

Yang jelas, selama berada di Haramain, Ammar mengubah pandangannya tentang Wahhabi. Lebih jauh lagi, dia bertekad untuk meluruskan pemahaman keluarganya di Maskumambang tentang Wahhabi.


-------------------------------------------------------------------
“Dan Berilah Peringatan kepada Kerabat-Kerabatmu yang Terdekat”..

Pada tahun 1928 Ammar memutuskan pulang ke tanah air. Sekembalinya dari tanah suci, Ammar sempat sebentar menerukan pendidikan agamanya kepada di Madrasah Falaqiyyah di Jakarta. Beberapa tahun kemudian, Ammar memutuskan untuk mengabdikan diri di pesantren Sang Ayah.

Sang Ayah – yang merasa sangat yakin dengan keilmuan Ammar – memberikan kesempatan kepada Ammar untuk menjadi tenaga pengajar di Pesantren. Ammar diamanahi untuk mengajar mata pelajaran aqidah dan tauhid.

Mendapat kesempatan ini, Ammar teringat oleh tekadnya untuknya meluruskan pemahaman di internal pesantrennya tentang ajaran pemurnian tauhid ala Wahhabi.

Namun demikian, mengajarkan langsung Kitab at Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada para santri Maskumambang saat itu adalah tindakan yang konyol. Sang Ayah pasti akan menentangnya dengan keras dan mungkin akan mengusirnya.

Tak habis akal, Ammar kemudian memutuskan untuk menulis sebuah buku diktat mata pelajaran aqidah dan tauhid berjudul “Tuhfatul Ummah fil Aqa-id wa Raddu ‘alal Mafasid”.  Buku ini kemudian digunakan dan diajarkan kepada para santri Maskumambang sebagai pengganti dari Kitab Aqidatul Awwam, yang selama ini digunakan di pesantren.

“Tuhfatul Ummah” terdiri atas empat bab. Bab pertama membahas pengertian Tauhid dan makna kalimat tahlil. Ammar menulis bahwa tauhid secara etimologis adalah ketentuan bahwa sesuatu itu satu. Sedangkan menurut terminologi syari’ah, tauhid berarti ketentuan bahwa dzat yang senantiasa Esa dan tidak ada yang lain bersama-Nya, baik dalam dzat, sifat atau perbuatan. Kalimat tahlil “La ilaha illa Allah”merupakan penetapan tauhid dan pengingkaran terhadap segala yang dapat menyekutukan-Nya.

Bab kedua menguraikan hukum tauhid dan kerasulan Muhammad. Tauhid dalam bab ini dijelaskan sebagai inti ajaran agama yang mengandung konsekuensi setiap amal akan diterima jika didasari tauhid.

Bab ketiga menjelaskan seputar aqidah yang benar dan yang rusak, perdebatan ulama dalam bidang ilmu kalam, masalah Ahlussunnah Waljama’ah, dan masalah pentakwilan ayat-ayat mutasyabihat.

Dalam aspek aqidah, Ammar lebih banyak menekankan pada masalah yang berhubungan dengan bid’ah. Menurutnya, kebiasaan membakar kemenyan, mendirikan bangunan di makam, menyarungkan kain di tempat-tempat keramat, semedi, ziarah ke makam para wali dengan mengharapkan sesuatu, dan amalan-amalan bid’ah lain hendaknya diberantas, karena tidak sesuai dengan kebiasaan ulama salaf dan bukan dari ajaran Nabi Muhammad.

Sedangkan bab keempat berisi ringkasan tentang ilmu kalam dan sifat-sifat Allah serta Rasul.

Dalam situs resmi Pondok Pesantren Maskumbang disebutkan bahwa Ammar tidak langsung mengajarkan Kitab at Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab karena alasan sosiologis. yakni adanya anggapan negatif di kalangan masyarakat dan tokoh-tokoh ulama terhadap para tokoh Wahabi. Sebagai jalan tengahnya, Ammar kemudian mengarang Kitab “Tuhfatul Ummah”, yang mengandung semangat pemurnian tauhid ibadah, sama seperti Kitab at Tauhid.

Tindakan Ammar yang mengganti Kitab Aqidatul Awwam dengan kitab tulisannya sendiri yang “berbau” ajaran Wahhabi segera saja menyulut kontroversi di internal kalangan pesantren.

Timbul pro dan kontra terhadap keputusan Ammar tersebut. Sang Ayah marah besar dengan keputusan Ammar.

Namun bagi Ammar, dakwah pemurnian tauhid haruslah tetap ditegakkan.

Adalah sangat mungkin bagi Ammar untuk kemudian memutuskan pindah dari Maskumambang dan mendirikan pondok sendiri sesuai keinginannya. Namun bagi Ammar, itu bukanlah jalan yang terbaik.

Apa gunanya dia berdakwah ke berbagai tempat dan ke banyak orang, namun dia sendiri justru melupakan keluarganya sendiri.

Dan, bukankah dakwah memang seharusnya dimulai dari keluarga sendiri ?

الْأَقْرَبِينَ عَشِيرَتَكَ وَأَنْذِرْ

“Dan berilah peringatan kepada kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”

(QS. Asy Syu’araa : 214)


-------------------------------------------------------------------
Bantuan Sang Ibunda..

Pro dan kontra tak menyurutkan langkah Ammar. Semakin ditolak, dia semakin bersemangat untuk mendakwahkan tauhid di tengah-tengah keluarganya. Ammar rajin sekali mengajak Sang Ayah untuk mendiskusikan ajaran pemurnian tauhid yang diajarkan oleh Wahhabi. Namun tentu saja, Sang Ayah menolak dengan keras. Setiap kali Ammar mengajak diskusi, setiap kali itu pula muncul penolakan dari Sang Ayah.

Ammar tak habis akal, dia kemudian meminta bantuan Sang Ibunda untuk secara diam-diam menaruh kitab “Tuhfatul Ummah” di langgar tempat Sang Ayah biasa melaksanakan shalat sunnah, dengan tujuan agar Sang Ayah mau membacanya. Namun, ketika mendapati di langgarnya ada kitab karya Ammar, Sang Ayah langsung membuangnya.

Ammar tidak patah arang, kembali dia memohon kepada sang ibunda agar menaruh kitabnya tersebut di langgar. Namun Sang Ayah lagi-lagi membuangnya, tanpa mau membaca isinya. Usaha ini dilakukan oleh Ammar sebanyak 3 kali, dan hasilnya selalu sama : Sang Ayah langsung membuang kitab tersebut seketika setelah mengetahui dari sampulnya bahwa kitab itu merupakan karya Ammar.

Ammar berusaha mencari ide lain. Sekali lagi, dia meminta tolong kepada sang ibunda. Kali ini Ammar meminta sang ibu untuk menaruh kitabnya di tempat tidur Sang Ayah.

Kali ini, usahanya membuahkan hasil.

Melihat keseriusan Ammar, Sang Ayah akhirnya bersedia membaca kitab yang ditemukannya di tempat tidurnya tersebut. Dibacanya halaman per halaman dari kitab putranya tersebut.

Allah Dzat yang Maha Membolak-Balikkan hati manusia, menunjukkan kekuasan-Nya.

Sang Ayah menangis tersedu-sedu setelah membaca kitab karya Ammar tersebut. Dia kemudian memanggil istrinya. Sang Ayah seketika teringat kembali tentang mimpi yang pernah dulu dialaminya ketika Ammar masih dalam kandungan. Mimpi yang dulu pernah Kyai Faqih tanyakan takwilnya kepada Kyai Abdul Jabbar. Dan kini mimpi tersebut, sepertinya akan segera menjadi kenyataan.


-------------------------------------------------------------------
Wasiat Sang Ayah..

Sejak membaca kitab Tuhfatul Ummah, pandangan Kyai Faqih terhadap anaknya tersebut mulai berubah. Ammar sendiri kemudian leluasa untuk berdiskusi dengan Sang Ayah tentang ajaran-ajaran pemurnian tauhid sebagaimana didakwahkan oleh paham Wahhabi. Ammar berusaha memberikan klarifikasi atas segala tuduhan, fitnah, dan kesalahpahaman yang selama ini dilemparkan kepada Wahhabi.

Namun Ammar juga tidak menyalahkan Sang Ayah atas segala tuduhan dan kesalahpahaman yang selama ini dituduhkannya kepada Wahhabi. Mengapa begitu ? Ini sebagaimana dijelaskan oleh Nadjih Ahjad (menantu Ammar) dalam salah satu karyanya, bahwa ulama-ulama Nusantara saat itu, termasuk Kyai Faqih, belum mendapatkan informasi yang lengkap tentang gerakan Wahabi, selain yang dihembuskan oleh lawan-lawan gerakan ini yang terdiri dari orang-orang yang mengaku berilmu, para pengikut Syarif-Syarif Hijaz yang telah menulis kitab-kitab yang mereka penuhi dengan kedustaan-kedustaan, kabar-kabar palsu serta kisah-kisah khayalan yang sangat jahat mengenai gerakan ini.

Tersisa pertanyaan, apakah Kyai Faqih lantas mengubah pandangannya tentang Wahhabi ?

Wallahu a’lam.

Namun yang jelas, beberapa saat sebelum wafat, Kyai Faqih sempat mewasiatkan dua hal yang patut menjadi renungan.

Pertama, Kyai Faqih berwasiat kepada anak-anaknya bahwa kelak jika dia wafat, makam atau kuburannya hendaknya jangan dikijing dan diberi cungkup.

Kedua, Kyai Faqih berwasiat dengan disaksikan seluruh anaknya, agar kepemimpinan pesantren kelak sepeninggalnya dilanjutkan oleh Ammar. Wasiat tersebut berbunyi (teks wasiat berdasarkan keterangan Kyai Marzuki Ammar – cucu Kyai Faqih):

“Hai anak-anakku semua, Bapak ini sudah mendidik kalian, semuanya sudah Bapak berikan, tapi orang itu bakatnya berbeda-beda. Setelah Bapak timbang-timbang, teliti, dan putuskan, lah Ammar inilah kira-kira yang bisa meneruskan peran Bapak di Pondok Pesantren Maskumambang ini. Jadi, besuk yang menggantikan Bapak, ya dia.”

Kedua wasiat ini, apakah bukti bahwa Kyai Faqih telah meralat pandangannya tentang Wahhabi?

Jika Kyai Faqih tidak pernah meralat pandangannya tentang Wahhabi, apakah mungkin Beliau berwasiat agar pesantren yang telah dibesarkannya dengan susah payah tersebut diserahkan kepada Ammar yang “Wahhabi” itu ?

Hanya Allah yang mengetahuinya.

Kyai Faqih sendiri kemudian wafat pada tahun 1937 M pada usia 80 tahun. Semoga Allah merahmati Beliau.

Anak-anaknya kemudian melaksanakan wasiat-wasiat Kyai Faqih tersebut. Ammar ditunjuk sebagai pengganti Kyai Faqih dalam memimpin pesantren Maskumambang.

Kyai Faqih dimakamkan tanpa kijing dan cungkup, sebagaimana wasiatnya. Wasiat ini juga sekaligus membantah tuduhan segelintir pihak yang menganggap bahwa pihak pesantren Maskumambang telah menelantarkan makam Kyai Faqih, hanya karena makam Kyai Faqih yang tidak dikijing dan diberi cungkup.


-------------------------------------------------------------------
Maskumambang : Pusat Dakwah Pemurnian Tauhid dan Sunnah..

Ammar menggantikan Sang Ayah pada usia yang masih cukup muda, 35 tahun. Kini dia resmi menyandang sebutan : Kyai Ammar. Kyai muda itu bergegas mengembangkan dakwah permurnian tauhid di masyarakat sekitarnya.

Beberapa usaha dakwah Kyai Ammar yang dilakukan dalam rangka pemurnian tauhid diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama, pemurnian pemahaman tauhid. Menurut Kyai Ammar tauhid seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan terkumpulnya tiga hal yaitu mengenai Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat ketuhanan-Nya, menetapkan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ke-Esaan-Nya baik dalam zat, sifat maupun perbuatan dan meniadakan segala sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Menurut Kyai Ammar tauhid seseorang belum sempurna jika dalam keyakinannya masih terdapat kepercayaan bahwa sifat-sifat yang sebenarnya mutlak milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimiliki juga oleh selain-Nya, seperti kepercayaan adanya manusia yang mengetahui hal-hal ghaib, mampu memberi syafaat dan sebagainya. Bahkan keyakinan seperti itu dapat dikatakan syirik dan pelakunya disebut kafir.

Kedua, Kyai Ammar meluruskan terjemahan kalimat tauhid (Laa ilaha illallah). Kyai Ammar Faqih mengartikan kalimat tauhid, bahwa tidak boleh diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, kebanyakan orang Indonesia tidak memahami kalimat tauhid tersebut. Mereka mengaku Islam tetapi tidak melaksanakan shariat Islam melainkan sekedar yang diperoleh dari cerita-cerita bapak mereka yang musyrik. Kyai Ammar juga mengkritik penerjemahan kata “Ilah” oleh orang Jawa dengan “Pengeran” karena hal tersebut jauh dari makna aslinya, sehingga hal tersebut akan merusak syahadatnya, karena jika “Ilah” bermakna “Pengeran” maka akan ada banyak pengeran, seperti “Ilah Diponegoro atau Ilah Hidayat”.

Ketiga, dalam menyikapi tradisi ziarah kubur, Kyai Ammar memperbolehkannya. Namun dengan syarat, setelah dirasa tauhid dari orang yang berziarah tersebut telah cukup. Dalam artian sudah murni orang tersebut terbebas dari tahayul, bid’ah dan khurafat. Sehingga nantinya ziarah kubur yang dilakukan murni hanya untuk mengingat kematian dan mendoakan yang telah meninggal, bukan untuk melakukan pemujaan, berdoa lewat orang yang sudah meninggal maupun yang lainnya. Selain itu cara mendoakan yaitu dengan membelakangi kuburannya dan menghadap ke kiblat. Bukan menghadap ke kuburannya seperti yang selama ini dilakukan masyarakat pada umumnya.

Kyai Ammar juga tak lupa memperingatkan ummat terhadap bahaya bid’ah. Menurut Kyai Ammar, melakukan perbuatan bid’ah berarti tidak mempercayai adanya Nabi Muhammad.

Berikut ini adalah beberapa bid’ah yang diperingatkan dan dilarang oleh Kyai Ammar :

Pertama, bid’ah puji-pujian sebelum sebelum shalat fardhu. Bagi Kyai Ammar masalah pujian sebelum salat fardu yang biasa dilakukan oleh golongan Islam Tradisional di daerah Gresik umumnya adalah termasuk perkara yang disebut dengan bid’ah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Karena pada saat melakukan pujian sebelum salat apalagi dengan menggunakan suara yang keras atau alat pengeras suara itu akan mengganggu orang yang berzikir dan beri’tikaf dalam masjid.

Kyai Ammar juga mengatakan bahwa orang yang melakukan pujian sebelum salat itu mereka termasuk mengotori Islam, karena dengan adanya suara yang keras akan menyebabkan kosongnya masjid dari orang-orang yang hendak berzikir atau beri’tikaf di dalamnya, serta suara yang keras itu juga mengganggu tetangga yang rumahnya disekitar masjid.

Kedua, bid’ah melagukan Al Qur’an. Kyai Ammar melarang dan mengharamkan melagukan Al Qur’an bagi laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut dilakukan karena banyak diantara umat Islam yang membuat lagu dari kandungan ayat-ayat suci Al Qur’an atau membaca Al Qur’an dengan melagukannya serta menjadikannya seperti seruling bagi penyanyi laki-laki dan perempuan. Bagi Kyai Ammar, yang penting dari Al Qur’an adalah mempelajari dan mengamalkannya, bukan melagukan ayat-ayat Al Qur’an-nya.

Selain itu, Kyai Ammar juga mengkritik ulama yang menghalalkan alat-alat bunyi-bunyian yang mempesonakan hati, serta diselingi bacaan Alquran dengan alat pengeras suara yang diadakan dalam pesta perkawinan. Sehingga hukum menggunakan alat musik yang bisa membuat hati terlena hukumnya haram dan penggunaan alat musik yang mengiringi ayat-ayat terkandung dalam Al Qur’an hukumnya juga haram, karena tidak bisa fokus pada membaca dan memaknai Al Qur’an, dan hal tersebut juga termasuk perbuatan bid’ah.

Ketiga, bid’ah dzikir berjamaah. Kyai Ammar melarang zikir dengan berjamaah dan suara keras karena merupakan praktik keagamaan yang tidak ada dasarnya di dalam Alquran.

Keempat, bid’ah membangun masjid secara mewah. Menurut Kyai Ammar membangun masjid secara megah dan menghiasnya dengan sangat mewah hukumnya tidak boleh karena hal tersebut bertentangan dengan sunnah Nabi Muhammad. Selain itu dalam menghias masjid akan memerlukan pengeluaran biaya yang tidak sedikit dari harta wakaf, dimana hal ini termasuk yang dilarang dalam agama, dan mereka (para penghias masjid) harus bertanggung jawab mencari biaya penggantinya.

Kelima, bid’ah peringatan haul (peringatan kematian seorang ulama setiap tahun). Kyai Ammar menganggap budaya haul sebagai praktik pemujaan terhadap kuburan. Disana juga terdapat pria dan wanita yang berfoya-foya di jalanan sambil melakukan jual beli barang-barang. Mereka juga berlebih-lebihan dalam berzikir kepada Allah dengan menyebut nama Allah dan nama para nabi dan para wali. Dan karena saking asyiknya berzikir mereka menggoyang-goyangkan badannya secara berulang-ulang.

Secara umum, dakwah pembaharuan yang dilaksanakan oleh Kyai Ammar berporos pada 2 hal penting, yaitu pemurnian tauhid dan pemberantasan bid’ah. Kyai Ammar dan santri-santrinya menghabiskan umur mereka tanpa lelah untuk mendakwahkan kedua hal tersebut kepada masyarakat, khususnya di wilayah Gresik.

Saat berada dibawah kepemimpinan Kyai Ammar inilah, Pesantren Maskumambang menjadi pusat dan corong dakwah tauhid dan Sunnah.

Sebagaimana yang difitrahkan, tak ada dakwah yang tak menghadapi rintangan. Begitu pun dengan Kyai Ammar. Muncul berbagai penolakan terhadap dakwah yang dilakukannya. Tidak sedikit yang menyebutnya sebagai “anak durhaka”, karena telah menyimpangkan ajaran ayahnya.

Masyarakat yang tidak mau menerima pembaruan yang dilakukan oleh Kyai Ammar kebanyakan dari kalangan Islam Tradisional yang masih ingin mempertahankan budaya-budaya terdahulu yang mempunyai nilai keislaman. Mereka meninggalkan, bahkan memusuhi Kyai Ammar Faqih.

Selain itu, wali santri yang anaknya bersekolah atau mondok di Pesantren Maskumambang yang tidak setuju dengan dakwah yang diserukan oleh Kyai Ammar banyak yang memindahkan anaknya ke Pondok Pesantren Ihya’ul Ulum Dukun dan Pondok Pesantren Tebuwung Dukun. Karena kedua pesantren tersebut adalah pesantren yang menganut ajaran Islam tradisional.

Penolakan yang cukup keras juga dilakukan oleh saudara tertua Kyai Ammar sendiri, yakni Kyai Abdul Hamid, yang saat itu telah mendirikan pesantren sendiri, yakni Pesantren Mathlabul Huda Karangbinangun, Lamongan. Perselisihan antara kedua orang bersaudara tersebut memuncak pada sekitar dekade tahun 1950, yakni ketika adanya perselisihan pendapat tentang boleh atau tidaknya tentang mengosongkan salah satu masjid dalam satu desa ketika salat Jumat.

Namun demikian, respon positif juga didapatkan oleh Kyai Ammar dari anggota keluarganya yang lain. Menurut kesaksian Kyai Marzuki Ammar (putra Kyai Ammar), respons positif ditunjukkan oleh saudara-saudara Kyai Ammar yang lain, yakni Kyai Yahya, Kyai Zayadi, Kyai Jabal dan Kyai Abdullah. Mereka setuju dan mengikuti pembaruan yang dilakukan oleh Kyai Ammar karena memandang bahwa ajaran yang dibawa oleh Kyai Ammar adalah ajaran yang benar dan tidak terdapat unsur takhayul, bid’ah, dan khurafat. Banyak dari keluarga Kyai Ammar yang kemudian mendapatkan pencerahan dan menerima dakwah pembaharuan yang dicanangkan oleh Kyai Ammar.

Masyarakat juga tidak seluruhnya menolak dakwah Kyai Ammar. Banyak juga yang menerima dengan pembaruan yang dilakukan oleh Kyai Ammar. Bahkan santri yang datang ke pesantren ini banyak diantaranya datang karena penasaran dan menganggap pembaruan yang dilakukan oleh Kyai Ammar itu memanglah benar. Pesantren ini kemudian juga menjadi pusat penyebaran dakwa salafiyyah di wilayah Gresik, khususnya wilayah Kecamatan Dukun.

Selain itu, Kyai Ammar juga mendapatkan dukungan dari kalangan Muhammadiyah di wilayah Dukun, meskipun terkadang masih terjadi perbedaan pendapat antara Kyai Ammar dengan Muhammadiyah, karena Kyai Ammar dan Pesantren Maskumambang – saat itu – memang tidak mengikuti Muhammadiyah. Namun demikian, antara Kyai Ammar dengan Muhammadiyah memiliki persamaan dakwah, yaitu memberantas takhayul, bid’ah, dan khurafat.


-------------------------------------------------------------------
Kiprah dalam Bidang Sosial Politik..

Peran Kyai Ammar dalam masyarakat tidak hanya terbatas pada aspek pembaharuan keagamaan saja. Beliau juga tercatat berperan penting dalam bidang sosial politik. 

Pada masa kolonialisme Belanda, Kyai Ammar berkonsentrasi melawan kolonialisme Belanda, dan menjadikan Pesantren Maskumambang sebagai markas para pejuang, terutama setelah pertahanan di daerah Lamongan, Gresik, dan sebagian Surabaya lemah.

Pada era penjajahan Jepang, pada tahun 1942, Kyai Ammar diangkat menjadi kepala Kantor Urusan Agama di Kecamatan Karang Binangun Lamongan. Pengangkatan Kyai Ammar sebagai ketua ini dilakukan setelah sebelas tahun masa jabatan menjadi pegawai. Diangkatnya Kyai Ammar sebagai kepala KUA ini merupakan keputusan dari Jepang. Hal tersebut dilakukan oleh Jepang dalam rangka mencari dukungan dari kalangan ulama agar nantinya bersedia membantu Jepang melawan musuh-musuhnya.

Pada tahun 1943, Kyai Ammar mengikuti latihan para kyai yang diadakan oleh pemerintah militer Jepang di Jakarta. Namun, meskipun Kyai Ammar ini mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Jepang, Kyai Ammar juga menganggap bahwa Jepang adalah kafir sehingga aturan dan perintahnya tidak boleh dipatuhi. Anggapan tersebut membuat Kyai Ammar sempat dimasukkan ke dalam penjara oleh tentara Jepang selama beberapa bulan, sehingga berpengaruh terhadap proses pembelajaran yang ada di Pondok Pesantren Maskumambang.

Setelah kemerdekaan, pada tahun 1946 Kyai Ammar ikut terlibat dan aktif dalam Partai Masyumi. Dalam kepengurusan partai, Kyai Ammar pernah menjadi Pimpinan Anak Cabang Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik dan pada tahun 1959 ia terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Surabaya (sekarang Kabupaten Gresik). Beliau juga pernah menjadi anggota Majelis Syuro Masyumi pusat dan pernah menjadi anggota DPR RI dari Masyumi.

Namun, setelah Masyumi pecah dan NU mengundurkan diri dari keanggotaan Masyumi pada tahun 1952, Kyai Ammar keluar dari keanggotaan Masyumi karena dirasa Kyai Ammar sudah tidak cocok lagi untuk aktif di Masyumi, menurutnya Umat Islam sebaiknya bersatu bukan bercerai-berai.

Bagi Kyai Ammar, pecahnya Masyumi merefleksikan perpecahan ummat Islam karena pada kesepakatan antara tokoh-tokoh Islam pada November 1945 ditetapkan bahwa Masyumi merupakan satu-satunya partai ummat Islam, dan Masyumi-lah yang memperjuangkan kepentingan ummat Islam.

Perpecahan ummat Islam tersebut sangat merisaukan Kyai Ammar. Bahkan Beliau sempat berwasiat untuk memperingatkan ummat tentang bahaya perpecahan tersebut sebagai berikut :

دَعُوْا شِيَعًا شَتَّى تُشَتِّتُ شَمْلَكُمْ
دَعُوْا بِدَعًا يُخْشَى بِهَا مَا يَهُوْلُ
دَعُوْا كُلَّ بِدْعَةٍ دَعُوْا كُلَّ شِيْعَةٍ
إِلَى مِلَّةٍ قَدْ كَانَ فِيْهَا الرَّسُوْلُ
تَصِيْرُوْا بِعَوْنِ اللهِ مِنْ أَهْلِ سُنَّةٍ
يُوْاصِيْ عَلَيْهَا أَنْ يَعَضَّ اْلعَقُوْلُ

"Tinggalkanlah sikap bercerai berai, yang akan memporak-pondakan kesatuan kamu.."

"Tinggalkanlah perbuatan bid’ah, yang akan mendatangkan sesuatu yang sangat menakutkan.."

"Tinggalkanlah setiap bid’ah.."

"Tinggalkanlah setiap perpecahan.."

"Kembali kepada agama yang Rasul berada didalamnya.."

"Niscaya dengan pertolongan Allah
Kamu tergolong pengikut sunnah.."

"Yang selalu dipesankan untuk dijadikan pegangan yang berakal.."

(selesai nukilan)

Setelah keluar dari Masyumi Kyai Ammar aktif dalam organisasi Muhammadiyah di daerah Dukun. Beliau menjabat sebagai ketua pengurus Muhammadiyah wilayah Kecamatan Dukun.


-------------------------------------------------------------------
Karya Tulis Kyai Ammar..

Kyai Ammar tercatat memiliki beberapa karya tulis, diantaranya adalah Tuhfatul Ummah, Falsafah Ketuhanan, Shilatul Ummah, Hidayatul Ummah, Tahdidu Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Ar Raddu wa An Nawadir, Al-Fashlul Mubin, Nurul Islam, dan Al-Hujjatul Balighah.

Kitab Tuhfatul Ummah, telah dijelaskan sebelumnya.

Kitab Falsafah Ketuhanan, merupakan sebuah buku kecil berbahasa Indonesia. Buku ini terbagi dalam dua bagian besar, bagian pertama membicarakan masalah ketuhanan, dan bagian kedua membahas keterangan singkat mengenai kebenaran Islam.  Buku ini diterbitkan oleh penerbit Pendawa pada tahun 1955. Menilik tahun penerbitan buku tersebut, diduga bahwa hasil pemikiran tersebut mempunyai kaitan erat dengan dasar Negara.

Kitab Shilatul Ummah, sebuah kitab yang masih dalam bentuk manuskrip yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa (Arab Pegon) berisi uraian tentang sebab-sebab perpecahan yang menimpa ummat Islam. Menurut beliau penyebab perpecahan yang terjadi di kalangan ummat Islam adalah karena ummat Islam kurang mematuhi Al Qur’an dan Sunnah, serta mengabaikan pemikiran ulama. Buku tersebut diterbitkan oleh Balai Kursus Kilat, tanggal 19 Rajab 1379 H atau 18 Januari 1960 M.

Kitab Hidayatul Ummah, yang oleh Kyai Adenan Nur dan Ustadz Bey Arifin kemudian diterjemahkan dengan judul Jadilah Mu’min Sejati, berisi uraian tentang pokok-pokok keimanan kepada Allah. Pada buku ini dijelaskan bahwa seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, orang itu dituntut untuk menyatakan kesanggupan menghapus kekufuran yang pernah dilakukannya.

Kitab Tahdidu Ahli Sunnah wal Jamaah, sebuah buku berbahasa Arab ditulis dalam rangka memberi jawaban pertanyaan tertulis dari salah seorang guru agama yang pada pokoknya mengharapkan jawaban tentang definisi Ahlus Sunnah wal Jamaah dan perihal perlunya bermadzhab bagi orang yang belum sampai pada tingkat ijtihad. Menurut Kyai Ammar, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada kitab Allah dan hadits-hadits shahih. Menurut beliau, ulama madzhab empat termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah, karena menggunakan al Qur’an dan al Hadits.

Adapun masalah bermadzhab, Kyai Ammar berpendapat bahwa seseorang tidak harus taklid, tetapi setidak-tidaknya melakukan ittiba’, yaitu mengikuti pendapat orang dengan mengetahui dasarnya. Menurut beliau, tindakan talfiq tidak dilarang dalam al Qur’an, selama memilih pendapat ulama madzhab itu berdasarkan dalil-dalil yang kuat.

Buku ini selesai ditulis pada pertengahan bulan Jumadil Ula tahun 1381 H dan dimuat secara berturut-turut pada Majalah Al Muslimun dari edisi nomor 110 sampai 117. Penerbitan ini memicu penolakan dari sejumlah ulama tradisional dan menyebut Kyai Ammar telah keluar dari Ahlussunnah wal Jama’ah (aswaja).

Kitab Ar Radd wa An Nawadir, ditulis Kyai Ammar Faqih dalam bahasa Arab bercampur bahasa Jawa dengan tulisan Arab Melayu. Buku ini merupakan jawaban terhadap surat yang ditulis Kyai Hasyim Asy’ari dalam bahasa Jawa, berkaitan dengan perbedaan pendapat antara beliau berdua tentang penyelenggaraan shalat Jum’at di dua masjid dalam satu kampung. Kyai Ammar Faqih berpendapat boleh, sedangkan Kyai Hasyim Asy’ari menyatakan tidak boleh. Buku ini berisi pendapat dan sikap Kyai Ammar terhadap kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 14 Rabiul Tsani 1353 H di kediaman Abdullah bin Faqih, yang menyatakan tidak boleh sholat Jum’at berbilang, di Desa Dukun dan Sembungan.


-------------------------------------------------------------------
Mempersiapkan Sang Penerus..

Perkembangan Pesantren Maskumambang di era Kyai Ammar berlangsung begitu cepat. Kyai Ammar menyadari bahwa dirinya tidak mungkin mengelola pesantren ini sendirian. Oleh karenanya, sejak tahun 1955, Kyai Ammar mengajak menantu sekaligus muridnya – Nadjih Ahjad – untuk ikut mengelola pesantren.

Nadjih Ahjad dilahirkan di Blimbing Paciran Lamongan pada tanggal 19 Maret 1936 dari pasangan suami istri Kyai Mohammad Ahjad dengan Ning Suhandari. Nadjih sendiri sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Kyai Ammar. Ayah Nadjih, Kyai Muhammad Ahjad, adalah cicit dari Ngapiyani, adik kandung dari Kyai Abdul Djabbar, kakek dari Kyai Ammar.  Sejak berusia 7 tahun, Nadjih Ahjad telah menjadi yatim, dan hanya tinggal bersama ibu beliau, sampai kemudian sang ibu pindah ke Maskumambang pada tahun 1948 karena menikah dengan Kyai Ammar.

Sejak kepindahannya ke Maskumambang, Nadjih banyak memperoleh pendidikan dasar agama langsung dari Kyai Ammar yang merupakan ayah tirinya. Bahkan, sebagaimana diakui sendiri oleh Nadjih, bahwa dia tidak mengaji kepada kyai lain kecuali kepada Kyai Ammar.

Di bawah asuhan Kyai Ammar inilah Nadjih banyak mempelajari tauhid, fiqih dan bahasa Arab. Sejak masih di bawah asuhan Kyai Ammar, Nadjih sudah menampakkan diri sebagai seorang manusia pembelajar yang haus akan ilmu.

Kecerdasan Nadjih membuat dirinya dijadikan Kyai Ammar sebagai teman bertukar pikiran. Kyai Ammar kemudian juga menikahkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Dlohwah.

Pada tahun 1958, Nadjih mencetuskan gagasan pembaruan terhadap sistem kelembagaan pesantren. Nadjih menawarkan kepemimpinan kolektif pesantren untuk menggantikan kepemimpinan individual kiai. Kepemimpinan kolektif yang ditawarkan diwujudkan dalam bentuk yayasan. Selain itu, Nadjih juga mengusulkan untuk diadakan sistem pendidikan klasikal berbentuk Madrasah Banat (Madrasah putri). Gagasan ini disetujui oleh Kyai Ammar.

Perubahan kelembagaan pesantren ini tidak menimbulkan ketegangan, karena Kyai Ammar yang memiliki kewenangan menentukan di pesantren menyetujui gagasan pembaruan ini. Akhirnya atas gagasan Nadjih tersebut, didirikannya Yayasan Kebangkitan Ummat Islam (YKUI) pada tanggal 4 Maret 1958. Dengan berdirinya yayasan tersebut, maka Pesantren Maskumambang sejak saat itu dikelola oleh YKUI. Status kepemilikan pesantren pun beralih dari milik pribadi (keluarga Kyai Ammar) menjadi milik lembaga (Yayasan YKUI). Artinya, keluarga pesantren tidak lagi memiliki akses sewenang-wenang terhadap pesantren, termasuk tidak memiliki hak untuk mewarisi aset dan kekayaan milik pesantren yang diatasnamakan yayasan. Kekayaan pesantren tidak lagi menjadi milik perseorangan, tetapi milik kolektif ummat. Sejak YKUI dibentuk, mulai dilakukan pemisahan secara ketat antara aset pesantren dan aset keluarga pesantren, sehingga memungkinkan pengelolaan aset dan kekayaan pesantren secara transparan dan akuntabel.

Berbagai konsep dan gagasan pembaharuan manajemen internal Pesantren yang digagas oleh Nadjih, membuat Kyai Ammar semakin yakin bahwa kelak Nadjih-lah yang akan menggantikannya memimpin Pesantren.


-------------------------------------------------------------------
Dakwah Tauhid hingga ke Liang Lahad..

Hari berganti, tahun berlalu. Kyai Ammar sudah merasa bahwa tak lama lagi akan berpisah dengan kehidupan dunia yang fana. Penyakit paru-paru yang dideritanya kian berat. Kyai Ammar seorang perokok berat. Dalam sehari bisa menghabiskan 2 bungkus rokok sekaligus. Kebiasaan ini memperparah sakit yang diderita.

Kini, dia harus bersiap. Sepeninggalnya, Pesantren Maskumambang harus tetap berdiri dan berkembang. Pesantren harus dipimpin oleh orang yang tepat. Dan tak butuh waktu lama bagi Kyai Ammar untuk memutuskan bahwa Nadjih-lah orang yang tepat itu.

Masa yang dinanti pun tiba. Tepat pada Rabu dini hari, tanggal 25 Agustus 1965 – sebulan sebelum terjadinya peristiwa G30S PKI – Kyai Ammar meninggal dunia, pada usia hampir 63 tahun.

Maskumambang pun berduka. Ummat Islam Indonesia pun berduka.

Pada saat pemakaman jenazah Kyai Ammar, banyak pelayat yang datang untuk memberi penghormatan terakhir mulai dari masyarakat sekitar, politisi birokrat, hingga para ulama. Kyai Ammar dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Desa Siraman, Kecamatan Dukun.

Pada saat pemakaman, keranda jenazah Kyai Ammar tidak dinaikkan ke atas punggung melainkan hanya di umpan dari satu tangan ke tangan yang lain hingga sampai di pemakaman. Hal tersebut dilakukan agar pelayat yang terdiri dari santri, kolega serta kerabatnya mendapat kesempatan untuk memberi penghormatan untuk memanggulnya.

Makam Kyai Ammar sangat sederhana. Tidak ada hal yang menunjukkan bahwa semasa hidupnya Beliau adalah tokoh besar. Bahkan nama Kyai Ammar pun tidak tertulis di batu nisannya.

Selain itu, untuk melaksanakan wasiat Kyai Ammar sebelum wafatnya, pihak keluarga sengaja membuat ada dua makam Kyai Ammar di puncak barat Taman Makam Pahlawan Dukun yang terletak diantara Sembungan Anyar dan Lasem. Hal tersebut sengaja dilakukan untuk mengelabuhi masyarakat agar tidak menziarahi makam Kyai Ammar, karena Kyai Ammar telah bewasiat agar nantinya tidak ada masyarakat yang menziarahi makamnya. Dan makam Kyai Ammar yang sebenarnya hanya diketahui oleh pihak keluarga saja.

Begitulah dakwah Kyai Ammar rahimahullah. Beliau tak kenal lelah mendakwahkan tauhid, bahkan hingga ke liang lahad.

Ada banyak hal yang bisa kita petik dari kisah perjuangan dakwah Kyai Ammar.

Tentang bagaimana kesabaran dan konsistensi Beliau dalam mendakwahkan tauhid dan Sunnah.

Tentang bagaimana perhatian Beliau terhadap persatuan ummat di atas pondasi Al Qur’an dan As Sunnah.

Tentang bagaimana metode Beliau dalam berdakwah dan berinteraksi dengan masyarakat sehingga meminimalkan timbulnya penolakan terhadap dakwah pemurnian tauhid.

Tentang bagaimana metode Beliau dalam mempersiapkan kader-kader penerus sehingga dakwah tauhid dan sunnah tetap berlangsung.

Dan diatas semua itu, dakwah Kyai Ammar kepada Kyai Faqih adalah salah contoh yang sangat bagus bagaimana seorang anak berbakti kepada orang tuanya. Bahwa dakwah seharusnya dimulai kepada kedua orang tua. Dan ini adalah salah satu cara berbakti kepada mereka.

Semoga Allah merahmati Kyai Faqih dan Kyai Ammar dengan rahmat yang luas, mengampuni segala dosa dan kesalahan mereka, dan memasukkan mereka berdua ke dalam surga-Nya.

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ

ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَىٰ سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir)"

(Dikatakan kepada mereka): "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman".

"Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan."

(QS. Al Hijr : 45-47)

-----------------

Kiriman dari Ust. Ahmad Husaini, BA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengingat Kebenaran

Adab berteman, bermasyarakat, atau bersosial merupakan sifat sosial manusia itu sendiri. Memberikan manfaat sosial terhadap sesama makhluk sosial. Dalam Islam, tugas seorang muslim yaitu dengan memberikan pemahaman yg benar adalah benar, dan salah adalah salah sesuai dengan apa yang ia pahami dalam syariat Islam. Tidak ada maksud maksud lain seperti meggunjing (ghibah), dan memberikan penilaian negatif kepada orang lain tanpa adanya kebanaran yang terjadi, ini bisa menjadi fitnah. Menjadi pemicu kebisingan sosial yang mengganggu keharmonisan dalam berkehidupan dan bermasyarakat. Dalam Islam ada tradisi 'Saling Mengingatkan' yang berarti mengarahkan kembali kepada garis kebenaran. Dengan tujuan meluruskan yang salah sebagai bentuk manfaat yang diberikan manusia satu terhadap manusia yang lainnnya. Kata 'Saling' mengandung arti hubungan timbal balik. Sebagai contoh, "Jika kamu salah, aku yang akan mengingatkan, atau orang lain yang mengingatkan, dan jika aku salah,

Menaruh Harapan

Harapan atau asa adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan akan didapatkan atau suatu kejadian akan berbuah kebaikan di waktu yang akan datang. Pada umumnya harapan berbentuk abstrak, tidak tampak, namun diyakini bahkan terkadang, dibatin dan dijadikan sugesti agar terwujud (Wikipedia). Harapan merupakan hal yang sangat dekat dengan manusia sebagai bentuk dari ekspresi atau keinginan yang akan dicapai. Wujud dari harapan adalah adanya kepercayaan dalam diri bahwa akan ada kebaikan yang datang menghampiri sesuai dengan keinginan hati. Hal ini dinilai sebagai bagian dari ikhtiar yang ditujukan pada pemikiran positif dan optimis akan sesuatu. Pada tanggal 1 Muharram 1439 Hijriah menjadi media untuk berharap, menemani rentetan usaha yang akan dilakukan selama satu tahun kedepan. Tahun yang lalu merupakan pelajaran penting yang bisa diambil hikmah dari setiap kejadian pahit dan manis yang dialami. Bilamana terdapat kesalahan, cara terbaik yang dilakukan adalah berben